Kamis, 07 Juni 2012

MUTIARA HATIKU


                Suara angin bertiup lembut seakan perlahan berbisik ditelingaku. Hamparan padang rumput yang luas mengantar pikiran khayalanku terbang jauh entah kemana. Sebab itulah disaat aku duduk berteman sepi di atas puncak bukit ini, aku tak tahu entah mengapa bayangan masa kecilku yang begitu suram, sejenak dapat terhapus dalam pikiranku. Seandainya ada seseorang yang dapat mengerti kesunyian hatiku saat ini. Tapi ku sadar mimpi ini takkan pernah menjadi sebuah kenyataan, yang kubuat hanyalah berharap dan terus berharap suatu saat nanti aku dapat menemukan kembali sahabat kecilku yang telah lama tidak ada kabarnya.
            Senja ini, disaat khayalanku telah terbang entah kemana, seolah-olah awan kelabu hadir membangunkan aku. Sejenak ku tersenyum, mengasihi diriku sendiri, meratapi kerinduan hati yang tak berujung ini. Akhirnya kucoba untuk berdiri, menguatkan segala harapanku lalu menarik nafas yang dalam sekali lagi. “Steve! saatnya kita kembali ke rumah,” kataku padanya.
            Akhirnya aku mulai sendiri lagi. Seperti biasa, Steve, satu-satunya teman yang aku punya harus ikut ayahnya ke luar kota. Semenjak aku hidup di desa, hidupku selalu sepi sampai akhirnya aku bertemu dengan Steve. Hari-hari yang kulalui bersamanya membuat aku dapat mengenal apa itu persahabatan. Sudah delapan tahun aku bersamanya dan ia sudah kuanggap sebagai saudaraku sendiri. Meskipun dia seorang yang kaya raya tapi dia tetap mau menerima aku sebagai sahabatnya yang hanya seorang anak desa dan tidak jelas asal-usulnya. Aku sangat membenci Tuhan yang telah memisahkan aku dengan Willy. Dia adalah sahabat kecilku. Tetapi semenjak kedatangan Steve, aku mulai sadar bahwa Tuhan member seorang yang baru dan sangat berarti dalam hidupku. Perasaan dendam, benci, dan marah yang menghiasi masa kecilku perlahan berubah menjadi senyum dan tawa. Dan itu semua berkat dia.
            Lima hari telah berlalu, semenjak kepergiannya. Selama itu pula aku menghabiskan hari-hariku duduk di atas sebuah batu di depan hamparan padi yang luas. Karena hanya di tempat itulah kesepianku dapat terobati.
            Sore itu, tampaknya akan turun hujan deras. Angin mulai bertiup sangat kencang. Dari kejauhan dentuman Guntur mulai terasa. Setetes air hujan yang jatuh di keningku seakan menyuruh aku untuk segera pulang. Ketika aku berada di tengah perjalanan, hujan tiba-tiba mengguyur dengan derasnya. Ketika aku melewati sebuah penurunan hendak menyeberangi jembatan, tiba-tiba aku melihat sesosok tubuh terkapar tak berdaya di bawah derasnya air hujan. Refleks, aku segera menolongnya. Ternyata ia seorang gadis. Ia tidak sadarkan diri, kepalanya bersimbah darah dan sekujur tubuhnya dipenuhi dengan luka. Di sampingnya tergeletak sebuah tas kecil. Tampaknya ia terjatuh dari jalan raya yang berada di atas sana. Aku mulai gemetar karena panik, aku bingung harus berbuat apa. Dalam keadaan yang serba tak menentu itu, akhirnya aku memutuskan untuk membawanya ke rumah.
            Tiba-tiba saja aku teringat akan kejadian kemarin. Serentak aku berdiri dari kursi tempat aku terlelap. Ternyata semalam-malaman aku menunggui gadis itu hingga tak sadar, aku terlelap di depannya. Ketika kubuka mataku, kulihat gadis itu masih terbaring lemah di atas tempat tidur.
            “Tampaknya ia belum sadar juga.” Kata bibi padaku.
            Rasa panik itu mulai menyelimuti lagi.
“Pamanmu sudah menunggu di luar. Cepatlah bersiap! Biar bibi yang menjaga gadis ini.”
Sejenak aku diam. Akhirnya aku putuskan untuk pergi.
“Bagaimana keadaannya?” Tanya paman padaku ketika kami hendak berangkat.
“Tidak jauh berbeda dari hari kemarin tapi syukurlah demamnya sudah turun. Kataku dengan nada yang lemah.
“Lebih baik kamu jangan terlalu peduli padanya, suatu saat jika ia sudah sadar lalu kembali ke rumahnya, paman takut  itu akan membuatmu sedih dan kecewa!” kata paman padaku.
            Kuhanya diam mendengar kata-kata paman tersebut sebab aku mengerti apa yang ayah maksudkan. Kami pun ke kota dengan menggunakan bus kecil.
            Di kota, entah mengapa aku hanya memikirkan gadis itu. Tapi di lain pihak perkataan ayah tadi selalu membayangiku. Tuhan apa yang harus kulakukan. Apa ini tandanya kalau aku mulai suka padanya. Aku selalu bersikap tak peduli di hadapan paman padahal dalam hati ini begitu merindukannya.
            Sore telah tiba dan waktunya kami pulang. Betapa gembiranya aku ketika kudapati bibi sedang berusaha menyuapinya dengan bubur.
            “Akhirnya kau sadar juga?” kataku pada gadis itu dengan penuh kebahagiaan.
            “Hai…kenalin nama aku Firgia.” Katanya padaku.
            Tanpa mengulurkan tangan aku bermaksud memperkenalkan diri. Tapi sejenak ia hanya memandangi aku. Sepertinya ia kebingungan. “Hallo, kenalin nama….” Percuma saja, ia sudah tidak ingat siapa dirinya lagi. Tiba-tiba saja ibu memotong pembicaraanku,
“Benturan di kepala yang dialaminya, telah membuatnya lupa ingatan. Kata bibi padaku.
“Apa….?! Oh Tuhan…” kataku terkejut seolah-olah tidak percaya.
“Sungguh malang benar nasibnya. Tenanglah! Mungkin ini hanya untuk sementara waktu saja. Saat kesehatannya telah membaik, pasti ingatannya secara perlahan akan kembali,” kata bibi hendak menghiburku.
Tapi aku tak menjawab apa-apa.
            Seiring dengan perjalanan waktu, kesehatannya pun mulai pulih kembali, tetapi tidak demikian dengan ingatannya. Selama itu pula aku terus berada disampingnya. Ternyata orangnya sangat lucu, baik, dan periang. Ia selalu membuat aku tersenyum. Aku sering mengajaknya bermain ke bukit dengan berharap udara yang segar dan pemandangan yang indah dapat menyegarkan ingatannnya. Meskipun sejujurnya aku takut ingatannya kembali dan aku kehilangan orang yang aku cintai untuk kedua kalinya. Ketika aku duduk mengawasinya bermain tiba-tiba aku mendengar seseorang berteriak memanggilku, “Willy…hoy…apa kabar?”. “Aku kenal suara ini, suara Steve, benar ini suara Steve!” kataku dalam hati. Serentak aku berdiri dan menoleh ke belakang. Kulihat Steve sedang berlari menuju ke arahku. Betapa gembiranya aku. Sahabat yang telah lama kutunggu akhirnya kembali juga. Ku berlari, ku rangkul ia dengan kuat.
            “Hei…apa kabar? Apa kamu sudah tidak ingat aku,haha!”, kataku.
“Bukan begitu. Di sana aku selalu ingat kamu,kok! Sebenarnya aku ingin segera pulang tapi aku harus nungguin ayah nyelesein pekerjaannya.” Jawabnya sambil memegang bahuku.
“Ohh…syukurlah”, jawabku padanya.
“Hey…pacar baru, ya?” tanyanya sambil melihat ke arah Firgia, nama yang aku berikan kepada gadis itu. Akhirnya aku mulai menceritakannya pada Steve semua yang terjadi selama ia pergi.
            Hari-hari yang kami lalui bertiga terasa begitu indah. Dan kini kusadari perasaan sayangku pada Firgia sudah menjadi nyata. Tapi aku belum mempunyai keberanian untuk mengungkapkan perasaaan ini kepadanya. Hingga suatu hari Steve curhat sama aku.
            “Willy…aku sudah jatuh cinta pada Firgia”, jawabnya dengan gembira.
            Betapa terkejutnya aku ketika kudengar dari mulut sahabat yang satu-satunya aku punya. Aku tak tahu harus berekspresi bagaimana. Di satu sisi aku sangat menyayangi Firgia, tapi di sisi lain hati kecilku hancur karena kau membuatku kecewa.
            Tak lama setelah itu Steve dan Firgia jadian. Seiring dengan itu juga ingatan Firgia perlahan kembali tapi masih begitu samar. Aku selalu selalu tersenyum melihat Firgia yang selalu tertawa bersama dengan Steve. Karena selalu bersama, kusadar waktu untukku sudah tak ada lagi, tapi demi persahabatan dan kebahagiaan kurelakan semuanya itu. Suatu sore, tiba-tiba saja Firgia mengajak aku ke bukit.
            “Bukan…namaku bukan Firgia tapi Ayu”. Sebenarnya aku sudah ingat dua hari yang lalu tapi maaf aku baru mengatakannya sekarang.
            “Oh ya! Syukurlah kalau begitu! Jadi kamu sudah bisa bercerita siapa kamu sebenarnya!” kataku kegirangan.
“Aku adalah anak angkat sebuah keluarga kaya di kota ini. Meski kedua orang tuaku menyayangiku tetapi aku selalu dikurung di rumah sendiri, sedangkan kedua orang tuaku jarang di rumah karena sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Aku sudah tak tahan lagi lalu lari dari rumah. Aku ingin mencari kebebasan seperti orang lain. Tapi di perjalanan, di tengah derasnya hujan, waktu itu kepalaku pusing lalu terpeleset ke jurang”, kata Ayu sambil memandang langit jauh ke arah sana.
“Sungguh bodoh kamu! Kamu selalu hidup dalam kemewahan tapi kamu justru meninggalkan semua itu? Beginilah akibatnya. Kau tak mengerti, orang tuamu pasti sangat sedih dan terus mencarimu! Kau tak mengerti betapa sedihnya hati ketika orang yang kita sayangi tiba-tiba menghilang dari sisi kita.” Tiba-tiba aku tak dapat lagi menahan air mata. Ayu hanya menatapku heran mengapa aku begitu terpukul dan sedih.
“Emangnya kamu pernah alami sendiri, ya?” katanya menatap aku.
“Dulu saat usiaku enam tahun aku hidup dalam keluarga yang tak harmonis, dengan seorang adik perempuan yang sangat aku sayangi. Ayah kami adalah seorang pemabuk dan penjudi. Kami selalu menjauh saat ayah dan ibu sedang bertengkar. Dan akhirnya ibu sakit keras dan ia pun meninggalkan kami untuk selamanya. Tak kusangka ayah tega membuang kami bersama adikku, Gheby yang saat itu baru berumur empat tahun. Akhirnya ada sebuah keluarga kaya di luar kota yang menerima kami. Tapi demi masa depan yang baik akhirnya aku menitipkan Gheby dan aku harus kembali ke desa untuk membantu paman dan bibi. Perpisahan yang sangatlah menyakitkan bagiku. sampai sekarang, perpisahan tersebut selalu membayangiku.” Ceritaku dengan perlahan.
“Maaf, Ayu tak menyangka kalau masa kecil kakak seperti itu!” katanya dengan tatapan mata yang berkaca-kaca. Sebelum hidup dalam keluarga kaya, ingatanku juga mengatakan kalau dulu aku punya seorang kakak. Tapi kata ayah ia berada jauh dan tak tahu dimana ia berada. Ayah selalu melarangku menanyakan itu lagi. Kalau begitu nasib kita sama…” sambungnya.
            Akhirnya hari esok telah tiba. Aku serasa sudah tak dapat menahan kepedihan ini, tapi kurasa itulah yang terbaik untuk Ayu. Perpisahan ini adalah perpisahan yang kedua yang ku alami dengan seorang yang sangat aku sayangi.
            Tiba-tiba saja ia berdiri di depanku dan tanpa aku sadari ia memelukku dengan eratnya. Air matanya pun tak kuasa ia tahan. Perlahan kuhapus air matanya sambil berkata, “Ayu…jangan nangis donk nanti kakak ikut sedih.” Tapi sia-sia saja tanpa sadar air mataku juga menetes satu-persatu. Dia hanya menangis tersedu-sedu dan akhirnya perlahan tanganku memeluknya dengan penuh kebahagiaan.
            Tanpa sadar, aku teringat dengan adikku dulu. Bahunya pernah teriris pisau tajam sehingga ia membutuhkan waktu yang agak lama untuk disembuhkan. Ya…aku sadar!!! Kayaknya Ayu adalah Gheby, adikku.
            Aku pun menceritakannya semua kepada Ayu. Tiba-tiba bibi datang memegang bahunya Ayu, dan akhirnya bibi yakin dan percaya bahwa Ayu adalah Gheby, adikmu.
            Air mata berlinang-linang. Aku sungguh sangatlah senang dan bahagia. Akhirnya orang yang selama ini aku rindukan kini kembali ada di depanku. Terima kasih Tuhan. Mutiara hatiku yang telah hilang kini telah kembali.
THE END

LOVE AT THE FIRST SIGHT


Kenapa hatiku cenat-cenut tiap ada kamu
Selalu pelukku menetes tiap dekat kamu
Kenapa salah tingkah tiap kau tatap aku
Selalu diriku malu tiap kau puji aku
            Lirik lagu dari “Smash Band” mengambarkan tentang hati seseorang yang selalu cenat-cenut. Ya…nggak tahu mengapa jika bertemu dengan sang pujaan hati, maka hati seseorang seakan berbunga-bunga. Namun satu hal yang pernah saya alami ialah hatiku yang selalu dak…dik…duk jika bertatapan langsung dengan pacar impian. Bicarapun dengannya serasa hati yang sangat terguncang. Muka memerah dan biasanya takut jika salah ucap. Saya selalu berpikir untuk membuat suatu kata itu diterima oleh si cewek tersebut, seperti kata-kata mutiara. Dalam hatiku selalu berkata, “Kapan ya aku bisa menjadi pacarnya”. Namun perasaan itu selalu aku pendam hingga kadang-kadang si cewek tersebut selalu aku pikir-pikirkan.
            Lewat curhat sama teman dekat, aku pun mulai untuk tidak merasa malu ataupun takut jika bertemu dengan sang pujaan hati. Tekadku ialah bisa menjadi pacarnya dan mencintai dengan setulus hati. Teman saya pernah berkata, “Sesuatu yang selalu dipendam-pendamkan akan berpengaruh terhadap kegiatan yang dilakukan, sebut saja dalam pelajaran. Seseorang akan terpaku pada apa yang didambakan sampai itu terkabulkan. Pelajaran pun akan terabaikan sehingga biasanya nilai ulangan akan anjlok.”
            Aku pernah mengirimkan sebuah pesan lewat SMS. Kataku,
            Saat cinta datang dan mengetuk hatimu, bukakanlah pintu hatimu. Kalau kamu takut menghadapinya maka kamu tidak akan pernah mengetahui apakah cinta itu benar-benar tulus. Jika kamu bisa menerima hujan yang menyejukkan maka kamu pun harus rela menerima petir dan panas matahari yang menyengat. Satu hal yang aku ingin kamu tahu bahwa “Cintaku untuk semua orang namun hatiku hanya untukku, selamanya”!!
            Sebenarnya aku ingin menembaknya lewat menelponnya atau sms. Namun kadang kala itu tidak mujarab karena si cewek tidak akan mempercayainya. Apalagi kebanyakan teman saya akn mengatakan, “Sebagai laki-laki, harus bertatap langsung jika menembak seorang cewek karena jika tidak maka itu berarti si cowok tersebut bisa dijuluki si pengecut.
            Aku pun berniat untuk menembak si cewek itu untuk dijadikan sebagai pacar. Walaupun konsekuensi yang akan aku tanggung. Apakah akan diterima atau ditolak. Seseorang pasti selalu menginginkan kata “Ya” jika menembak. Itu artinya diterima sebagai pacar. Itulah yang kualami. Entah mengapa, hatiku selalu dak…dik…duk walaupun aku belum mencoba untuk menembaknya.
            Akhirnya, aku pun berniat untuk menembaknya. Apapun yang terjadi aku akan terima dengan lapang dada. Masih teringat dalam ingatanku khususnya kata-kata yang kuucapakan saat menembaknya.
“Ayu...sebenarnya sejak dari dulu bertemu denganmu, sudah ada perasaan cinta terhadapmu. Namun saat ini, aku ingin mengungkapkan semua isi hati yang terpendam selama ini. Mau nggak kamu jadi pacar aku.”? Kataku saat menembaknya.
Dia pun berkata,
“Willy, mungkin saya kaget mendengar perkataanmu. Jujur saja, sejak bertemu denganmu, aku sudah merasakan hal seperti yang kau alami. Aku bahagia kau melontarkan kata-kata tersebut di mana dari dulu kata-kata tersebut aku harapkan untuk kau ucapkan. Ternyata perasaan di antara kita berdua sama. Aku mencintaimu willy.” Katanya padaku.
“Intinya.” Kataku dengan perasaan cenat-cenut.
“Aku menerima mu jadi pacar aku.” Katanya padaku.
            Aku merasa hatiku akan copot ketika menembaknya. Tapi akhirnya dia pun menerima saya menjadi seorang pacar. Hatiku serasa berbunga-bunga diselimuti rasa senang yang sangat mendalam. Ternyata sejak dahulu, aku dan Ayu memiliki perasaan yang sama saat bertemu dengannya. Kami berdua bertemu saat pertama masuk SMU dan saat itulah aku merasakan hal yang lain pada diriku. I’m falling in love. Mungkin inilah yang dinamakan love at the first sight. Lalu kami pun jadian hingga saat ini.
            Ya…aku sadar, perasaan cenat-cenut selalu menghantui jika menembak seorang wanita impian. Ya…indahnya hidup ini jika diisi dengan cinta. Cinta terhadap orang tua, teman-teman, sahabat, dan cinta kepada kekasih. Orang bilang kalau kita sedang dimabuk cinta semuanya terasa indah dan dunia bagaikan milik berdua. Bahkan kotoran kucing pun serasa coklat manis.
            Sekian dan terima kasih…

LANDORUNDUN


            Landorundun adalah seorang gadis yang cantik, molek dan panjang rambutnya. Ayahnya bernama Solokang dari Rongkong dan ibunya bernama Lambe’ Susu dari Sesean. Pada suatu hari Landorundun pergi mandi di sungai. Sehabis mandi ia lalu bersisir dan tercabut sehelai. Rambut itu lalu digulungnya pada sebuah sisir yang terbuat dari emas. Gulungan rambut ini diletakkan di atas batu, lalu tiba-tiba angin putting beliung datang meniupnya dan jatuh ke air lalu hanyut ke muara sungai dan sampai ditengah laut. Ketika benda ini berada di tengah laut kelihatan berkilau-kilauan terkena cahaya matahari. Benda itu dilihat oleh Bendurana lalu ia menyuruh anak buahnya pergi mengambilnya. Orang yang disuruh pergi mengambil benda itu tidak ada satu pun yang berhasil karena selalu kembali dalam keadaan cacat. Orang pertama pergi mengambilnya kembali dalam keadaan lumpuh, orang kedua hilang kakinya sebelah, orang ketiga kembali dalam keadaan bungkuk, orang yang keempat hilang telinganya, dan yang terakhir kembali dalam keadaan buta. Ketika Bendurana menyaksikan keadaan ini, ia sendiri yang langsung pergi mengambil benda itu di tengah laut,  ia berhasil mengambilnya. Kaki dan kukunya pun tak basah kena air. Benda itu ternyata sisir emas yang dibebat dengan rambut yang sangat panjang. Bendurana melilitkan rambut itu ditangannya dan setelah sampai pada lilitan yang ketujuh sudah mencapai tujuh puluh depa, seratus jengkal panjangnya. Bendurana sangat heran melihat kejadian itu dan berkatalah ia dalam hatinya. “Dari mana gerangan asalnya rambut ini.” Ia memikirkan kejadian ini sambil menengadah ke langit. Tiba-tiba datanglah serombongan burung terbang di udara dan seekor di antaranya berkata.
            Saya melihat dengan pasti
            Di sana di hulu sungai
            Sumber asalnya air
            Gumpalan timbunan busa air
            Setelah burung layang-layang itu berkata demikian, kawanan burung itu terbang terus mengikuti aliran sungai mulai dari mulai dari muara sampai ke Tana Toraja dan tiba di daerah Malangngo’,  Kecamatan Rantepao. Ke mana arah burung layang-layang itu terbang selalu diikuti pula oleh perahu Bendurana. Ketika tiba di daerah Malangngo’,  Bendurana belok di persimpangan (pertemuan sungai) arah ke sungai Bolu (Kecamatan Rantepao) karena tersesat. Burung mengetahui kejadian itu lalu ia berkata.
            Sesat, sudah sesatlah perahuku
            Salah jalan, salah arahlah dia
            Mundur, mundurlah kembali
            Benarkanlah arah dan tujuannya
            Di sana di hulu sungai
            Asal mulanya busa air
            Di atas di sumur batu
            Bendurana mendengar seruan burung layang-layang di udara itu, lalu ia mengubah arah perahunya menuju ke utara, yaitu Minanga (Kecamatan Tikala) lalu membuang sauh di dekat batu yang bernama Batu Sangkinan Lembang artinya batu tempat menambat perahu. Batu ini sampai sekarang tetap terkenal dan bersejarah.
            Bendurana turun dari perahunya dan menanam pohon mangga. Pohon mangga ini rupanya agak lain sebab cepat tumbuh dan cepat pula berbuah (dan sampai sekarang mangga ini masih ada). Ketika selesai menanam mangga itu, Bendurana meneruskan perjalanannya ke utara dan sampai di tempat yang bernama bubun batu di desa Pengala’ (Kecamatan Rindingallo). Di tempat itu Bendurana langsung bertemu dengan Landorundun. Landorundun bertanya kepada Bendurana dalam bentuk londe (pantun) katanya.
            Apa tujuan, apa maksudmu?
            Apa yang engkau cari hingga ke sini
            Berjalan jauh tak memperhitungkan lelah
            Adakah engkau member piutang
            Dan engkau datang menagihnya
            Di negeri yang terpencil ini
Bendurana menjawab Landorundun dalam bentuk pantun.
            Saya tidak berpiutang
            Menagih utang yang lama pun tidak
            Aku datang hanya melihat sesuatu
            Penggulung rambut dari emas
            Di negeri yang punya arti bagiku
            Aku akan mendampingi engkau
Landorundun menjawab Bendurana.
            Tiada artinya engkau mendekat
            Ibu belum sempat mengizinkan
            Bersama seluruh keluarga
            Berpisah pergi ke Bone
            Setelah mendengar jawaban Landorundun itu, Bendurana kecewa lalu pergi menanam pohon mangga dekat tempat Landorundun turun ke sungai mencuci rambutnya. Pohon mangga ini rupanya lain dari pohon mangga biasa sebab cepat sekali tumbuh dan berbuah. Ketika buah mangga itu sudah mulai masak, pergilah Bendurana ke puncak Gunung, bersembunyi dan mengintip dari atas. Secara kebetulan pada waktu itu, Landorundun turun ke sungai akan mencuci rambutnya. Setelah itu, ia naik ke darat berjemur sambil menyisir rambutnya. Pada saat itu dia melihat mangga yang sudah masak tidak jauh dari tempat itu. Landorundun pergi menjolok sebuah mangga, kemudian memakannya sambil berjemur diri dan bersisir. Bendurana melihat peristiwa yang sudah lama dinantikan dari puncak gunung. Ia segera turun dari puncak gunung lalu pura-pura menghitung buah mangga itu. Setelah itu, ia menyindir Landorundun, katanya, “Siapakah mengambil buah kesayanganku, menjolok, dan memakan mangga manisku.”
            Landorundun merasa tersinggung mendengar sindiran Bendurana lalu ia berkata.
            Siapa yang mengambil buahmu
            Siapa yang memakan manggamu
            Beri tahu si anak gembala
            Bersama penjaga anak kerbau
            Dialah yang memanjat manggamu
            Memakan buah kesayanganmu
            Bersama semua tanam-tanamanmu
            Setelah Bendurana mendengar jawaban Landorundun, ia memanggil semua anak gembala yang ada di sekitar tempat itu dan menanyai satu per satu. Anak- anak gembala itu menjawab, “Kami tidak pernah mengambil apalagi memakan mangga Bendurana.” Ada seorang di antara mereka itu berkata.
            Landorundun mengambilnya
            Memakan buah mangga itu
            Bersama tanam-tanaman
            Mendengar kata-kata anak gembala itu, Landorundun lalu mengaku dan berkata, “Akulah yang sebenarnya mengambil buah manggamu dan terserah kepadamu hukuman apa yang harus kujalani.” Pada saat itu Bendurana memutuskan untuk menikah dengan Landorundun dan keputusan ini diterima oleh Landorundun.
            Ketika Bendurana bersiap untuk berangkat membawa Landorundun, ia mencari akal supaya mertuanya (Lambe’ Susu) tidak ikut berangkat bersama mereka. Ia menyuruh mertuanya pergi mengambil air di tebing gunung dan memberikan perian yang sudah dilubangi pantatnya untuk tempat air. Karena pantat perian itu bocor, air yang dimasukkan tidak kunjung penuh. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Bendurana membawa Landorundun turun ke perahu lalu berangkat. Ketika  Lambe’ Susu merasa bahwa perahu Bendurana sudah berangkat, ia pergi ke satu tempat yang bernama Mata Bongi untuk melihat keberangkatan anaknya. Akan tetapi, dari tempat itu Lambe’ Susu tidak dapat melihatnya karena suasana gelap menutupi daerah sekelilingnya. Tempat Lambe’ Susu memandang keberangkatan anaknya itu sampai saat ini masih ada bekasya berupa tempat duduk dari batu.
            Bendurana dan Landorundun meneruskan perjalanannya menuju Bone. Ketika mereka sudah tiba di Bone dilangsungkanlah upacara pernikahan dengan menampilkan semua jenis pesta adat. Selama pesta berlangsung, Landorundun tidak pernah tertawa bahkan tersenyum pun tidak. Pada suatu ketika orang sengaja membawa burung gagak yang sudah terpotong kakinya sebelah ke halaman rumah. Burung gagak itu melompat terpincang-pincang dan kelihatan lucu. Pada saat itulah Landorundun tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan burung gagak itu dan hiduplah Bendurana bersama Landorundun dalam suasana bahagia, rukun, dan damai.
            Demikian akhir cerita ini.


            Keterangan      :
            Cerita “Landorundun” merupakan cerita rakyat yang berasal di daerah saya tepatnya di daerah Tana Toraja.