Jumat, 27 Januari 2012

SNMPTN Jalur Undangan


Kepala Humas Unhas M.Dahlan Abubakar menjelaskan, sesuai jadwal tahun 2011, pelaksanaan pendaftaran SNMPTN Jalur Undangan dilaksanakan mulai 1 Februari-12 Maret 2012.  Para siswa yang dibolehkan mendaftar melalui jalur ini adalah siswa SMA/SMK/MA/MAK (Madrasah Aliyah Keterampilan) yang sedang duduk di kelas 12 dan akan mengikuti ujian nasional pada tahun 2012. Siswa tersebut mendapat rekomendasi dari Kepala Sekolah dan memiliki prestasi akademik terbaik dengan peringkat sebagai berikut: Sekolah dengan akreditasi A (kelas akselerasi) peringkat yang diterima 100% atau seluruh siswa. Sekolah dengan akreditasi A (RSBI, rencana sekolah berbasis internasional/unggulan) 75% dari siswa terbaik, dan kelas reguler 50%, 25%, 10% dari siswa terbaik.
Menyinggung soal jumlah pendaftar SNMPTN pada tiga PTN di Makassar, diperkirakan mencapai 40.000 orang. Pendaftar SNMPTN di Unhas pada tahun 2011, mencapai 22.061 orang. Selain menerima mahasiswa baru melalui SNMPTN Jalur Undangan, PTN juga menerima melalui ujian tulis SNMPTN. Namun Kemendiknas menetapkan, jumlah mahasiswa baru yang diterima melalui SNMPTN minimal 60% dan melalui jalur mandiri maksimal 40%.

Senin, 23 Januari 2012

Asal Mula Masa Prapaskah




Masa Prapasakah merupakan masa istimewa untuk berdoa, bertobat, bermatiraga dan melakukan karya belas kasihan sebagai persiapan menyambut perayaan Paskah. Dalam kerinduannya untuk memperbaharui praktek-praktek liturgi Gereja, Konstitusi tentang Liturgi Kudus Konsili Vatikan II menyatakan, “Dua ciri khas Masa Prapaskah - mengenang atau mempersiapkan pembaptisan, dan membina tobat - haruslah diberi penekanan yang lebih besar dalam liturgi dan dalam katekese liturgi. Masa Prapaskah merupakan sarana Gereja dalam mempersiapkan umat beriman untuk merayakan Paskah, sementara mereka mendengarkan Sabda Tuhan dengan lebih sering dan meluangkan lebih banyak waktu untuk berdoa.” (no. 109).

Sejak masa awal Gereja, terdapat bukti akan adanya semacam masa persiapan menyambut Paskah. Sebagai contoh, St. Ireneus (wafat 203) menulis kepada Paus St. Victor I, perihal perayaan Paskah dan perbedaan-perbedaan dalam perayaannya antara Timur dan Barat, “Perbedaan tidak hanya sebatas hari, tetapi juga ciri puasa yang sesungguhnya. Sebagian berpendapat bahwa mereka wajib berpuasa selama satu hari, sebagian berpuasa selama dua hari, lainnya lebih lama lagi; sebagian menetapkan 'masa' mereka selama 40 jam. Berbagai perbedaan dalam perayaan tersebut bukan berasal dari masa kita, melainkan jauh sebelumnya, yaitu sejak masa para leluhur kita.” (Eusebius, Sejarah Gereja, V, 24). Ketika Rufinus menerjemahkan bagian berikut ini dari bahasa Yunani ke bahasa Latin, tanda baca yang dibubuhkan antara “40” dan “jam” menjadikan maknanya tampak seperti “40 hari, dua puluh empat jam sehari.” Namun demikian, maksud pernyataan di atas adalah bahwa sejak masa “para leluhur kita” - sebutan bagi para rasul - suatu masa persiapan selama 40 hari telah ada. Tetapi, praktek nyata dan lamanya Masa Prapaskah masih belum seragam di seluruh Gereja.

Masa Prapaskah diatur secara lebih mantap setelah legalisasi agama Kristen pada tahun 313. Konsili Nisea (tahun 325), dalam hukum kanonnya, mencatat bahwa dua sinode provincial haruslah diselenggarakan setiap tahun, “satu sebelum Masa Prapaskah selama 40 hari.” St. Atanasius (wafat 373) dalam “Surat-surat Festal” meminta umatnya melakukan puasa selama 40 hari sebelum puasa yang lebih khusuk selama Pekan Suci. St. Sirilus dari Yerusalem (wafat 386) dalam Pelajaran Katekese, mengajukan 18 instruksi sebelum pembaptisan yang diberikan kepada para katekumen selama Masa Prapaskah. St. Sirilus dari Alexandria (wafat 444) dalam serial “Surat-surat Festal” juga mencatat praktek dan lamanya Masa Prapaskah dengan menekankan masa puasa selama 40 hari. Dan akhirnya, Paus St. Leo (wafat 461) menyampaikan khotbahnya bahwa umat beriman wajib “melaksanakan puasa mereka sesuai tradisi Apostolik selama 40 hari”. Orang dapat menyimpulkan bahwa pada akhir abad keempat, masa persiapan selama 40 hari menyambut Paskah yang disebut sebagai Masa Prapaskah telah ada, dan bahwa doa dan puasa merupakan latihan-latihan rohaninya yang utama.

Tentu saja, angka “40” selalu mempunyai makna spiritual khusus sehubungan dengan persiapan. Di gunung Sinai, sebagai persiapan untuk menerima Sepuluh Perintah Allah, “Musa ada di sana bersama-sama dengan TUHAN empat puluh hari empat puluh malam lamanya, tidak makan roti dan tidak minum air” (Kel 34:28). Elia berjalan selama “40 hari dan 40 malam” ke gunung Allah, yakni gunung Horeb (nama lain Sinai) (1 Raj 19:8). Dan yang terutama, Yesus berpuasa dan berdoa selama “40 hari dan 40 malam” di padang gurun sebelum Ia memulai pewartaan-Nya di hadapan orang banyak (Mat 4:2).

Begitu Masa Prapaskah selama 40 hari ditetapkan, perkembangan berikutnya adalah menyangkut berapa banyak puasa yang harus dilakukan. Di Yerusalem, misalnya, orang berpuasa selama 40 hari, mulai hari Senin hingga hari Jumat, tetapi tidak pada hari Sabtu dan hari Minggu, dengan demikian Masa Prapaskah berlangsung selama delapan minggu. Di Roma dan di Barat, orang berpuasa selama enam minggu, mulai hari Senin hingga hari Sabtu, dengan demikian Masa Prapaskah berlangsung selama enam minggu. Akhirnya, diberlakukan praktek puasa selama enam hari dalam satu minggu, selama masa enam minggu, dan Rabu Abu ditetapkan untuk menggenapkan hari-hari puasa sebelum Paskah menjadi 40 hari. Peraturan-peraturan puasa bervariasi pula.

Pertama, sebagian wilayah Gereja berpantang dari segala bentuk daging dan produk hewani, sementara yang lain berpantang makanan tertentu seperti ikan. Sebagai contoh, Paus St. Gregorius (wafat 604), menulis kepada St. Agustinus dari Canterbury, perihal peraturan berikut: “Kami berpantang lemak, daging, dan segala makanan yang berasal dari hewan seperti susu, keju dan telur.”

Kedua, peraturan umum adalah orang makan satu kali dalam satu hari, yaitu pada sore hari atau pada pukul 3 petang.

Peraturan-peraturan puasa Masa Prapaskah juga mengalami perkembangan. Pada akhirnya, makan sedikit pada waktu siang diperbolehkan guna menjaga daya tahan tubuh selama melakukan pekerjaan sehari-hari. Makan ikan diperbolehkan, dan akhirnya makan daging juga diperbolehkan sepanjang minggu kecuali pada hari Rabu Abu dan setiap hari Jumat. Dispensasi diberikan untuk mengkonsumsi produk-produk hewani jika orang melakukan kerja berat, dan akhirnya peraturan ini pun sepenuhnya dihapuskan.

Selama bertahun-tahun perubahan-perubahan terus dilakukan dalam merayakan Masa Prapaskah, menjadikan praktek kita sekarang tidak saja sederhana, tetapi juga ringan. Rabu Abu masih menandai dimulainya Masa Papaskah, yang berlangsung selama 40 hari, tidak termasuk hari Minggu. Peraturan-peraturan pantang dan puasa yang berlaku sekarang amatlah sederhana: Pada hari Rabu Abu dan Jumat Agung, umat beriman berpuasa (makan kenyang hanya satu kali dalam sehari, ditambah makan sedikit untuk menjaga daya tahan tubuh) dan berpantang setiap hari Jumat selama Masa Prapaskah. Umat masih dianjurkan untuk “merelakan sesuatu” sesuatu selama Masa Prapaskah sebagai mati raga. (Catatan menarik adalah bahwa pada hari Minggu dan hari-hari raya, seperti Hari Raya St. Yusuf (19 Maret) dan Hari Raya Kabar Sukacita (25 Maret), orang bebas dan diperbolehkan makan / melakukan apa yang telah dikorbankan sebagai mati raga selama Masa Prapaskah).

Namun demikian, senantiasa diajarkan kepada saya, “Jika kamu berpantang sesuatu demi Tuhan, teguhkan hatimu. Janganlah berlaku seperti orang Farisi yang suka mencari-cari kesempatan.” Lagipula, penekanan haruslah dititikberatkan pada melakukan kegiatan-kegiatan rohani, seperti ikut serta dalam Jalan Salib, ambil bagian dalam Misa, adorasi di hadapan Sakramen Mahakudus, meluangkan waktu untuk berdoa secara prbadi, membaca bacaan-bacaan rohani, dan yang terutama menerima Sakramen Tobat dengan baik dan memperoleh absolusi. Meskipun praktek perayaan dapat berubah dan berkembang dari jaman ke jaman, namun fokus Masa Prapaskah tetap sama: yaitu menyesali dosa, memperbaharui iman, serta mempersiapkan diri menyambut perayaan sukacita misteri keselamatan kita.

Romo William P. Saunders
  • Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.


Taklukan Dengan Cinta


Katakan padaku, bagaimana rasanya sunyi itu. Katakan padaku, bagaimana rasanya sepi itu. Malam, dengan dingin dan kabut. Malam dengan desiran angin dan bunyi rintik hujan. Ada lagu di dalam hati. Ada lagu tak berjudul. Dan siapakah diriku ini? Siapakah aku? Apakah artinya aku di tengah deru kehidupan yang meluncur dalam waktu? Mengapa aku harus menangis? Mengapa aku harus menjerit dengan jiwa yang terluka? Merasa disia-siakan, dihina, disepelekan dan tak punya arti lagi? Mengapa hidup mesti sesunyi ini? Dimanakah harus kucari cara untuk menghadapi hidupku? Dimanakah harus kucari setetes embun yang dapat memuasi dahaga kehidupanku? Segala hal telah kucoba. Segala kemungkinan telah kulalui. Tetapi mengapa dingin masih menggigit kalbu? Mengapa luka masih menganga di dalam jiwa? Tuhan. Tuhan, sungguhkah Engkau ada? Dimanakah Engkau saat ini? Dimana?

Rasa pesimis dan putus asa seringkali menyelimuti kehidupan kita. Rasa tak mampu dan tak sanggup untuk menghadapi hari esok seringkali melumpuhkan jiwa kita. Tertunduk pasrah menghadapi waktu tanpa daya untuk bangkit dan mendobrak segala kebekuan yang kita alami saat sekarang. Rasa takut, tak berdaya, mematikan segala inisiatip kita untuk menghadapi apa yang ada. Kita hidup namun telah mati. Kita ada namun sungguh tak jelas keberadaan kita. Kita merasa tak memiliki daya apapun untuk berbuat. Malam telah larut dan kita terbenam di dalamnya. Bersama angin dan gerimis. Dimanakah kita saat ini? Dimana?

Hidup selalu membawa banyak pertanyaan. Persoalan-persoalan yang tak bisa terjawab hanya dengan kata. Karena hidup bukan sekedar kata. Bukan sekedar kalimat-kalimat indah dengan nasehat-nasehat panjang dan Firman indah yang merasa bisa meringankan beban kita. Tidak, temanku. Hidup bukan hanya kata tetapi perbuatan. Perjuangan untuk mengatasi diri sendiri. Pertarungan melawan hati dan diri kita sendiri. Kita, yang terkurung dalam pemikiran, takkan melihat setitik cahaya di depan kita. Karena kita hanya berpaling ke relung jiwa kita yang kelam. Jiwa kita yang kelam takkan mampu untuk melangkah selama kita tak menginginkannya. Sesungguhnya kita sendiri adalah daya. Daya yang mampu untuk melakukan apa saja jika kita mau. Mampu untuk bangkit atau runtuh. Mampu untuk berbuat atau tidak berbuat. Maka apalah artinya segala kondisi lingkungan jika kita sadar bahwa, yang menentukan bukanlah lingkungan, tetapi diri kita sendiri? Ya, kita berjuang bukan untuk apapun selain untuk diri kita. Hanya untuk kita sendiri.

Malam dengan kelam sering menutup segala penglihatan kita. Dan kita pun takut melangkah maju. Kita khawatir terantuk. Kita takut terjerumus ke jurang kelam. Kita tak tahu apa-apa di depan. Tetapi apakah memang ada apa-apa di depan? Bagaimana kita tahu jika kita tidak mencobanya? Bagaimana kita memastikan sesuatu jika kita tidak melihatnya sendiri? Jika kita tidak merasakannya sendiri? Jangan takut, temanku. Jangan takut. Hidup bukan mimpi namun suatu kenyataan. Kenyataan yang harus kita hadapi dan bukan untuk dihindari. Kita bukan penonton tetapi pelakon. Sebab Tuhan membuat dunia ini bukan untuk dinikmati sesuai dengan kesenangan kita namun untuk ditaklukan dan dikuasai dengan akal nurani. Kita ada untuk hidup dan bukan untuk mati. Maka mengapa kita lalu merasa takluk padanya? Mengapa?

Apakah artinya kehidupan? Apakah artinya kematian? Seberapa sering kita merasa sebal menghadapi kehidupan ini? Tapi, bukankah tak jarang pula kita takuti kematian? Lantas, untuk apa kita ada di dunia ini? Untuk apa kita bisa berpikir, merasa sakit, senang, sedih, gembira, suka dan duka? Jika semua itu tanpa makna samasekali, dan jika saat kehidupan ini berakhir maka segala sesuatu akan berubah menjadi gelap, nihil dan kita lalu menghilang dalam ketak-adaan, perlukah kita menjadi ada di dunia ini? Sekarang ini? Pikirkanlah!

Dan bayangkanlah ini. Langit kelam dalam mendung. Surya terik dalam terang. Apakah artinya itu? Bunga-bunga indah yang bermekaran lalu layu gugur, pendaran cahaya senja menuju gelap malam, kekelaman malam menuju fajar terang bersinar, lompatan kecil seekor anjing yang menghindari genangan air. Hidup, bukan main. Ada yang datang, ada yang pergi. Ada yang lahir, ada yang mati. Perlukah kita sesali keberadaan kita di dalam lorong waktu dan sejarah yang nampak tak berujung ini? Dan dalam meniti jalan setapak kehidupan, keindahan taman hati dan kejorokan ambisi dan nafsu, bukankah semua itu lalu menjadi lumrah saja? Perlukah kita sesali kehidupan ini? Perlukah, temanku?

Maka jangan pernah merasa takluk. Jangan takut, hidup kita adalah bagaimana harus bertahan dan menguasai apa yang sedang terjadi. Kita toh bukan seorang pengecut? Kita toh tahu, bahwa sesungguhnya Yesus, jika kita akui Dia sebagai Penebus kita, dapat saja menghindari penderitaanNya jika Ia mau. Tetapi tidak! Apa yang harus terjadi, terjadilah. Kita hadapi hidup kita dengan sepenuh daya. Kita berjuang dengan sepenuh pengharapan. Kita bertahan untuk tidak tertaklukkan, tetapi agar mampu menaklukkan keadaan kita. Dengan cinta. Dengan cinta. Hanya dengan cinta.

Tonny Sutedja


Sendiri


Sendiri. Ya, pada akhirnya kita adalah mahluk yang sunyi. Sendirian kita hadapi dunia ini. Sendirian kita hadapi hidup ini. Sendirian kita merasakan kegembiraan dan kepahitan kita. Kita hidup dan begerak dalam waktu yang amat terbatas. Pendek dan melintas untuk sirna dalam sepi. Sebab itu, apa guna kita hadapi hidup ini dengan penuh dendam? Apa guna kita isi hidup ini dengan kemarahan dan kekhawatiran? Bukankah itu hanya suatu kesia-siaan? Tidakkah lebih baik kita menerima segala hal dengan sadar dan tabah? Sebab apa yang terjadi saat ini hanya masa lalu yang tertunda. Apa yang terjadi saat ini kelak akan larut dalam waktu. Perasaan dan hanya perasaan kita yang sanggup merubah hidup kita. Maka untuk apa segala kegundahan kita ini?

Langit kelam. Hujan menderas. Angin menderu. Air menggenang. Gunung meletus. Bumi berguncang. Ombak menyapu. Banjir. Gempa. Kering. Segala sesuatu terjadi dalam waktu sekarang. Masa lalu, ya masa lalu kita yang saat ini terasa sebagai suatu kejayaan, kemanakah perginya? Masa depan, ya masa depan yang terasa menyempit dalam ketakutan, kapankah tibanya? Kita hidup di dunia sekarang. Kita hidup bersama waktu saat ini. Apapula yang dapat kita lakukan? Apa yang dapat kita buat? Apa? Tahukah kita? Kenalkah kita? Sadarkah kita?

Sendiri. Ya, pada akhirnya kita harus menghadapi diri kita sendiri. Dengan penuh kesadaran akan bencana, rasa pahit dan kemarahan di dalam perasaan kita. Untuk apa kita tangisi segala hal ihwal yang telah terjadi dan tak mungkin kita ulangi lagi? Untuk apa? Bukankah lebih baik kita memulai awal yang baru dari saat ini? Sebab kita hidup selalu berawal dari saat ini. Kita hidup di dalam waktu sekarang. Bukan dari masa yang telah silam. Maupun dari masa yang belum tiba. Ya, sekarang, kita hidup dan menerima hidup ini dengan penuh kesadaran untuk memulai sekali lagi. Untuk merubah hal-hal yang telah terjadi. Untuk tidak mengulangi lagi kesalahan-kesalahan yang telah terjadi. Bukan dengan berdiam diri dan pasrah menerima segala apa yang telah membuat kepahitan dalam diri kita. Bukan hanya dengan duduk merenung dan menyesali apa yang telah kita lakukan di masa lalu. Sesali apa yang harus disesali, tetapi tinggalkan dia dalam waktu yang telah silam. Bangkit dan berdirilah untuk mengawali hidup kita sekali lagi. Sebab kita harus tahu. Ya, kita harus tahu bahwa hidup selalu menyimpan harapan selama kita tetap mau bertahan dan pantang untuk menyerah. Pantang untuk berputus asa atas segala yang telah terjadi.

Pelangi akan muncul setelah hujan. Matahari akan bersinar terang setelah badai. Gelombang akan mengalun lembut setelah topan. Bunga-bunga mekar. Maka belajarlah dari alam. Belajarlah betapa semesta ini selalu mengalir untuk memperbaharui dirinya. Belajarlah bahwa kita ada dan hadir bukan untuk kalah. Ya, kita hanya melintas sekejap dalam waktu panjang sejarah bukan untuk dipatahkan dan layu begit saja. Tidak, temanku. Kita hadir di dunia ini untuk suatu keberadaan yang berguna. Keberadaan yang tidak semestinya kita sia-siakan begitu saja. Kita hidup dan bertanggung-jawab terhadap hidup kita sendiri. Sendiri. Bukan tergantung pada apa yang dilakukan orang lain. Bukan tergantung pada apa yang dibuat lingkungan. Bukan. Kita lahir sendiri, kita menghadapi kenyataan sendiri, kita pun menghadapi segala suka duka kita sendiri. Mutlak sendiri. Maka untuk apa bersedih hati? Untuk apa? Kita toh bukan bahan tertawaan dunia ini. Karena kita ada. Kita telah ada. Dan tak seorang pun, tak sesuatu pun dapat meniadakan keberadaan kita ini. Tak seorang pun dapat. Biar pun kita sendiri.

Sendiri. Kita mahluk yang sunyi. Kita mahluk yang sepi. Namun jauh di dalam relung hati kita, sesuatu berdiam dengan penuh kekuatan. Kekuatan yang sering gagal kita rasakan keberadaanNya. Kekuatan yang selalu berada namun jarang kita cari. Telah lama kita lupakan Dia. Telah lama kita tinggalkan Dia sunyi sepi sendiri di dalam jiwa kita. Ya, mungkin karena itulah kita kini merasa sepi. Mungkin karena itulah sekarang kita merasa ditinggalkan. Mungkin karena itulah saat ini kita merasa tidak berharga dan tidak punya tujuan dalam hidup lagi. Dan sebab itu, untuk berubah, marilah kita cari Dia kembali. Marilah kita kembali menyusuri patok-patok pegangan yang telah dipasangNya. Agar kita tak kehilangan arah lagi. Agar kita bisa menyadari bahwa kita tidaklah seorang diri. Ya temanku, kita sendiri di dunia ini memang, namun kita tak pernah sendirian secara mutlak. Ada Dia yang selalu menemani perjalanan kita. Melekat seperti bayang-bayang kita. Menjangkau kita saat kita jatuh. Mengelus kepala kita saat kita berduka. Membopong kita saat kita terluka. Sendiri tapi tak sendiri. Inilah kita semua. Kita. Semua. Tuhan itu ada. Mari kita temani Dia. Mari jangan biarkan Dia sepi. Mari jangan biarkan kita sunyi. Jangan. Jangan. Dia menunggu kita. Selalu. Selamanya.


A. Tonny Sutedja


Kisah Paskah
Tanggal terbit:
12-4-2007

Topik:
Perayaan Hari Raya Kristen

Tipe Bahan:
Bahan Mengajar

Tulisan ini pernah dimuat di:
e-BinaAnak edisi 325                                     Tampilan cetak
            Beri tahu teman Anda
            Kirim tulisan ini ke email Anda





Cerita:

Benar-benar hari yang sangat menyedihkan bagi murid-murid Yesus! Dengan sangat sedih mereka berdiri melihat Yesus sekarat di kayu salib. Mereka tidak mengerti benar mengapa semua itu harus terjadi.

Mereka percaya Yesus adalah anak Allah dan mereka ingat bagaimana Dia menyembuhkan orang sakit dan mencelikkan orang buta. Mereka juga ingat bagaimana Yesus memberi makan ribuan orang hanya dengan beberapa potong roti dan ikan. Bahkan mereka juga ingat betul bagaimana Yesus membangkitkan orang mati. Dia adalah pribadi yang baik dan penuh cinta kasih; mengapa Dia harus mati?

YESUS DI KAYU SALIB

Beberapa saat sebelum matahari terbenam di ufuk barat, Yusuf, salah satu sahabat Yesus, menyadari bahwa Yesus sudah tidak bernapas lagi. Dia segera menemui Pilatus untuk minta izin menurunkan dan menguburkan tubuh Yesus. Saat Pilatus memberi izin, Yusuf dan Nikodemus (sahabat Yesus lainnya) dengan hati-hati membungkus tubuh Yesus dengan kain yang bersih. Kemudian mereka membawa mayat Yesus untuk dikubur.

Keesokan harinya, orang-orang Farisi mulai memikirkan Yesus. Mereka adalah orang-orang yang ingin membunuh Yesus. Mereka ingat tentang apa yang diajarkan Yesus pada mereka, bahwa Yesus akan bangkit setelah tiga hari. Mereka khawatir hal itu benar-benar terjadi! Mereka juga berpikir bahwa murid-murid Yesus akan mengingat dan mungkin mencoba mencuri mayat Yesus dari kubur untuk membuktikan bahwa Yesus telah bangkit. Mereka menemui Pilatus dan menyarankan agar kubur Yesus ditutup oleh batu besar dan dijaga oleh para pengawal.

YESUS BANGKIT

Keesokan harinya sebelum matahari muncul, terjadi sesuatu yang paling menakjubkan! Terjadi GEMPA BUMI yang hebat! MALAIKAT Allah turun dari surga, menggeser batu besar penutup kubur Yesus dan duduk di atasnya. Para pengawal gemetar ketakutan! Mereka jatuh pingsan seolah-olah mereka mati!

Sementara itu, Maria dan wanita lainnya sudah memutuskan untuk bangun pagi-pagi benar dan berziarah ke kubur Yesus. Selama dalam perjalanan, mereka memikirkan cara untuk masuk kubur Yesus. Mereka membawa rempah-rempah dan wewangian untuk mereka oleskan di tubuh Yesus. Mereka tahu ada batu besar yang menutup jalan masuk ke kubur dan mereka tidak tahu bagaimana mereka bisa menggeser batu itu.

Mereka terkejut sekali saat sampai di kubur Yesus! Batu itu sudah bergeser! Dan ... sesosok MALAIKAT duduk di atas batu itu! Wanita-wanita itu takut, tapi malaikat itu dengan lembut berkata, "Jangan takut. Aku tahu kamu datang untuk melihat Yesus. Dia tidak ada di sini; karena Dia sudah bangkit seperti yang telah dikatakan-Nya. Masuklah dan lihatlah tempat di mana dia terbaring."

Mereka masuk ke dalam kubur dan menemui kubur itu kosong, seperti apa yang telah dikatakan malaikat itu kepada mereka.

Sekali lagi malaikat itu berkata pada mereka, "Cepatlah pergi dan beritakan kepada murid-murid lain bahwa Yesus telah bangkit dari kematian; dan kalian akan menemuinya di Galilea."

Mereka melakukan apa yang dikatakan malaikat itu. Mereka segera berlari, dengan rasa takut dan sukacita yang luar biasa, untuk memberitakan kabar sukacita itu kepada murid-murid lainnya. Tetapi ... saat mereka menemui Petrus dan teman-teman lainnya dan memberitahukan kabar baik tersebut, ... tak seorang pun percaya!

Para wanita itu terus berusaha membuat mereka percaya, sampai kemudian Petrus pun memutuskan untuk memeriksanya sendiri. Dia berlari menuju kubur. Dia masuk ke dalam kubur. Dia melihat kain kafan pembungkus Yesus, tapi tubuh Yesus tidak ada.

Dia bertanya-tanya apakah ini benar-benar terjadi. Apakah Yesus benar-benar bangkit dari kematian? Apakah Yesus benar-benar hidup?

Dua murid Yesus yang lain pergi ke sebuah desa bernama Emaus. Saat mereka berjalan mereka membicarakan hal-hal yang terjadi beberapa hari terakhir. Seorang pria menghampiri mereka, berjalan bersama mereka dan ikut berbincang. Kleopas bercerita kepada orang itu tentang bagaimana Yesus disalibkan. Mereka bicara mengenai para wanita yang menemukan kubur Yesus telah kosong.

Sambil terus berjalan, mereka mengundang pria itu untuk makan malam bersama. Saat mereka duduk untuk makan, pria itu mengambil sepotong roti dan memecah-mecahkannya. Kemudian dia memberkati roti itu dan membagi-bagikannya. Pada saat itu, mereka sadar bahwa pria itu adalah YESUS! Mereka sudah berbincang-bincang dengan pria itu selama beberapa waktu tanpa menyadari bahwa Dia adalah Yesus!

Lalu ... kejadian aneh lain terjadi. Segera setelah mereka menyadari siapa orang yang duduk bersama meraka itu ... Yesus menghilang! Mereka membicarakan saat-saat indah ketika mereka berjalan bersama dan berbincang dengan Yesus dan mereka tidak henti-hentinya membicarakan kemunculan Yesus yang aneh itu. Mereka bangkit dari duduknya dan kembali ke Yerusalem di mana mereka memberitakan kepada murid-murid lain tentang kabar sukacita bahwa Yesus BENAR-BENAR bangkit dari kematian dan berbicara kepada mereka.

Saat mereka membicarakan itu semua, Yesus menampakkan diri lagi. Mereka takut dan berpikir bahwa mereka sedang melihat hantu, tapi Yesus berkata kepada mereka agar tidak merasa takut. Yesus menunjukkan tangan dan kaki-Nya yang dipaku di kayu salib, supaya mereka benar-benar percaya bahwa Dia adalah Yesus.

Ketika mereka melihat bekas lubang paku di tangan dan kaki-Nya, mereka akhirnya percaya bahwa Yesus telah bangkit dari kematian, seperti yang dikatakan-Nya. Mereka sangat senang dan bersukacita bertemu Yesus kembali. Mereka sangat gembira sampai-sampai mereka memberitakan kepada SEMUA ORANG kabar sukacita bahwa YESUS HIDUP!

Pikirkan:
Mengapa murid-murid Yesus sedih?
Mengapa kubur Yesus dijaga oleh para pengawal?
Apa penyebab batu besar bergeser?
Siapa yang pertama kali masuk melihat ke dalam kubur Yesus?
Mengapa mayat Yesus tidak ada di dalam kubur?
Apa yang dikatakan malaikat kepada Maria dan para wanita yang lain?

Ayat Hafalan:

"Ia tidak ada di sini, Ia telah bangkit" (Lukas 24:6).

Doa:

Allah Bapa yang baik, terima kasih Engkau sudah mengirim Yesus, Anak-Mu, untuk mati menebus dosa-dosa kami. Terima kasih karena Dia telah bangkit dan hidup; dan karena Dia hidup, kami bisa menerima hidup kekal. Dalam nama Yesus, amin.

Bacalah:
Matius 27:55 - 28:10
Markus 15:40 - 16:14
Lukas 23:47 - 24:35
Yohanes 19:38 - 20:21(t/Dian) Sumber:
The Childrens Chapel, Linda Edwards, http://misslink.org/children/biblestories/easter.html.


Makanan Paskah & Maknanya

oleh: Romo William P. Saunders *

Natal yang lalu dijelaskan mengenai berbagai tradisi Natal. Bagaimana dengan macam-macam tradisi Paskah seperti telur-telur Paskah, roti, dsb?
~ seorang pembaca di Alexandria

Pada Misa Malam Paskah, api yang baru diberkati, lilin Paskah dinyalakan, dan madah indah Exultet dilambungkan. Ayat-ayat pembukaan menghantar kita masuk ke dalam perayaan Paskah:

“Bersukacitalah, bala surgawi! Bermadahlah, paduan suara para malaikat! Bersukarialah, segenap ciptaan sekeliling tahta Allah! Yesus Kristus Raja kita telah bangkit! Tiuplah terompet keselamatan!

Bersukacitalah, wahai bumi, dalam cahaya cemerlang, bersinar dalam kemilau Rajamu! Kristus telah menang! Kemuliaan memenuhimu! Kegelapan lenyap untuk selamanya!

Bersukacitalah, wahai Bunda Gereja! Bersukarialah dalam kemuliaan! Juruselamat yang bangkit bersinar atasmu! Kiranya tempat ini bergaung dengan sukacita, menggemakan madah segenap umat Allah!” 

Persiapan sepanjang Masa Prapaskah dengan berpuasa, bermatiraga dan berkurban telah usai. Sekarang Gereja merayakan kemuliaan, kemenangan dan kehidupan Paskah. Perayaan ini meliputi juga makanan yang dibagi bersama, pakaian yang dikenakan dan juga dekorasi lainnya.

Bermacam ragam santapan istimewa Paskah ada karena ketatnya puasa Masa Prapaskah sepanjang mana umat beriman berpantang dari makanan-makanan atau bahan-bahan ini. Pada umumnya, umat beriman berpantang dari segala bentuk daging (terkecuali ikan di sebagian wilayah Gereja) dan produk-produk hewani, termasuk telur, susu, mentega, dan lemak. Sebagai contoh, Paus St Gregorius (wafat tahun 604), menulis kepada St Agustinus dari Canterbury, menerbitkan peraturan berikut, “Kami berpantang lemak, daging, dan segala makanan yang berasal dari hewan seperti susu, keju dan telur.”

Telur-telur berhias warna-warni merupakan tanda sukacita. Masyarakat Eropa Timur bahkan menghiasi telur dengan desain-desain yang amat rumit dan karya seni religius. Telur Paskah melambangkan kebangkitan: bagai seekor anak ayam kecil mematuk-matuk mengusahakan jalan keluar dari kulit telur untuk memasuki suatu kehidupan baru, demikian pula Kristus keluar dari makam kepada kehidupan yang baru dan kekal. Telur yang utuh melambangkan makam batu Tuhan kita; dan ketika dipecahkan, telur melambangkan bahwa Ia telah bangkit dari kematian. Pepatah Romawi kuno mengatakan, “Omne vivum ex ovo” (“Segala kehidupan berasal dari telur”); dengan mudah kita dapat melihat bagaimana pepatah yang demikian mengilhami umat Kristiani perdana untuk mempergunakan telur sebagai simbol yang pas bagi kehidupan yang baru dan kekal, yang dimenangkan bagi kita melalui sengsara, wafat dan kebangkitan Tuhan kita.

Menurut suatu dongeng rakyat Ukranian, pada hari Jumat Agung ketika Tuhan kita disalibkan, seorang penjaja miskin pergi ke pasar di Yerusalem untuk menjual sekeranjang telur. Ia menyaksikan Yesus memanggul salib-Nya yang berat menyusuri jalanan, dengan dicaci-maki oleh para prajurit Romawi dan dicemooh oleh khalayak ramai. Para prajurit Romawi memaksa sang penjaja- Simon dari Kirene - untuk membantu, dan ia meninggalkan keranjangnya di tepi jalan guna membantu Yesus memanggul salib-Nya. Ketika kembali untuk memungut keranjang telurnya, Simon mendapati bahwa telur-telur telah berubah, berhias indah dalam aneka warna-warni menyala. Baru setelah Paskah dan kebangkitan Tuhan, Simon menyadari bahwa telur-telur ini merupakan simbol kelahiran baru bagi segenap umat manusia. Hingga hari ini, masyarakat Ukranian menghias pysanky sebagai bagian dari perayaan Paskah mereka.

Anak domba juga memiliki makna tersendiri dalam perayaan Paskah. Kue Paskah yang istimewa adalah kue berbentuk anak domba. Pada Abad Pertengahan, anak domba merupakan makanan yang biasa disantap pada hari Raya Paskah, dan merupakan menu utama pada perjamuan malam Paskah Bapa Suci. Patut diingat bahwa kaum Yahudi mengorbankan seekor anak domba Paskah sepanjang masa Musa; karena kurban Paskah ini, bangsa Yahudi dibebaskan dari perbudakan Mesir dan dibawa ke Tanah Terjanji. Kristus adalah Anak Domba Paskah yang baru, yang dikurbankan demi dosa-dosa kita dan yang darah-Nya dicurahkan bagi perjanjian yang sempurna dan kekal; Kristus telah membebaskan kita dari perbudakan dosa dan membuka pintu gerbang menuju Tanah Terjanji Surgawi yang sejati. Bersama-sama, misteri Perjamuan Malam Terakhir, kurban Jumat Agung, dan kebangkitan Paaskah membentuk Paskah yang baru.

Keranjang-keranjang Paskah, jauh sebelum masa orang mengisinya dengan permen, coklat dan marshmallow, diisi dengan roti-roti istimewa dan telur-telur yang dipersiapkan untuk perayaan Paskah. Keranjang-keranjang ini dibawa ke gereja pada pagi Sabtu Paskah di mana keranjang-keranjang diberkati oleh imam. Banyak paroki tetap meneruskan kebiasaan memberkati keranjang-keranjang Paskah ini.

Baju baru juga memiliki makna khusus. Pada masa Gereja Perdana, pada Malam Paskah, mereka yang dibaptis mengenakan busana putih, yang dikenakan sepanjang pekan Paskah. Seperti yang dinyatakan dalam ritual kita sekarang, busana putih ini merupakan lambang bahwa orang tersebut telah dilahirkan kembali dalam pembaptisan, dibebaskan dari dosa, dipenuhi rahmat dan diberi martabat dan identitas Kristiani yang baru. Meski umat beriman lainnya, yang telah dibaptis, tidak mengenakan busana putih, biasanya mereka mengenakan baju-baju baru untuk menunjukkan bahwa mereka telah bangkit ke dalam kehidupan baru melalui doa, puasa dan matiraga Masa Prapaskah. Busana putih dan baju baru merupakan tanda lahiriah akan pembaharuan iman dalam Kristus.

Lalu, bagaimana dengan kelinci Paskah?  Kata “Easter” (= Paskah) berasal dari kata Eoster (juga dieja Eastre), nama dewi Teutonic, dewi terbitnya terang hari dan musim semi dan kurban-kurban tahunan sehubungan dengannya. (Patut diingat bahwa sementara bahasa-bahasa Romawi mempergunakan akar kata Ibrani-Yunani-Latin untuk menyatakan Paskah, seperti pernah diterangkan sebelumnya [lihat Paskah = Hari Raya Kafir?], bahasa-bahasa Jerman dan Inggris “membaptis” kata Eoster.) Musim semi adalah musin kesuburan, kehidupan dan kelimpahan. Dalam mitologi Teutonic, burung peliharaan Eoster bertelur dalam keranjang-keranjang dan menyembunyikannya. Dalam suatu kegilaan sesaat, Eoster mengubah burung peliharaannya menjadi seekor kelinci, yang terus bertelur. Kelinci sendiri merupakan lambang kafir bagi kesuburan, sebab itu ada pepatah, “Berkembang biak seperti kelinci,” dan kerap dipelihara di rumah-rumah sebagai binatang peliharaan. Dari kebiasaan kafir ini, di Jerman, pada abad kelimabelas, muncullah suatu cerita rakyat “Kelinci Paskah”. Namun demikian, kelinci Paskah tidak mewakili suatu makna religius ataupun lambang liturgis.

Bunga-bunga bakung Paskah merupakan tambahan yang baru-baru saja dalam perayaan Paskah. Bunga bakung Paskah yang putih bersih diperkenalkan di Bermuda dari Jepang pada pertengahan 1800-an. Pada tahun 1882, W. K. Harris, seorang ahli bunga-bungaan, memperkenalkan bunga ini ke Amerika Serikat. Karena bunga ini termasuk salah satu dari bunga-bunga bakung pertama yang mekar pada musim semi, maka ia segera dikenal sebagai “Bunga Bakung Paskah”. Dalam ikonografi Kristiani, bunga-bunga bakung putih senantiasa menjadi simbol keindahan, kemurnian dan kesucian. Bahkan dalam Injil Matius, Tuhan kita berbicara juga mengenai bunga-bunga bakung, “Perhatikanlah bunga bakung di ladang, yang tumbuh tanpa bekerja dan tanpa memintal, namun Aku berkata kepadamu: Salomo dalam segala kemegahannya pun tidak berpakaian seindah salah satu dari bunga itu”  (Mat 6:28-29). Sungguh pantas, bunga-bunga bakung yang putih, besar dan elok ini menjadi sangat populer dalam dekorasi Paskah di gereja-gereja, melambangkan kehidupan baru dari Tuhan yang telah bangkit.

Sekedar tambahan, muncul sebuah legenda religius mengenai bunga bakung: Pada sore hari Kamis Putih, ketika Tuhan kita berada di Taman Getsemani, semua bunga - terkecuali bunga bakung yang paling elok, anggun dan angkuh - menundukkan kepala mereka dalam duka sebab sengsara yang diderita Tuhan kita. Pada akhirnya, setelah menyaksikan sendiri kerendahan hati dan pengorbanan Tuhan kita, bunga bakung pun menundukkan kepalanya karena malu, dan demikianlah ia tertunduk dalam kerendahan hatinya hingga sekarang ini.

Berbagai macam tradisi ini menyemarakkan sukacita perayaan Paskah kita. Keluarga-keluarga hendaknyalah memasukkan tradisi-tradisi ini ke dalam perayaan Paskah mereka, serta mempergunakannya sebagai suatu sarana untuk mengajarkam iman kepada anak-anak.

* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Church in Potomac Falls.

sumber : “Straight Answers: The Significance of Easter Food” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2004 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”


Pengorbanan Seorang Ibu


Jalannya sudah tertatih-tatih, karena usianya sudah lebih dari 70 tahun, sehingga kalau tidak perlu sekali, jarang ia bisa dan mau keluar rumah. Walaupun ia mempunyai seorang anak perempuan, ia harus tinggal di rumah jompo, karena kehadirannya tidak diinginkan. Masih teringat olehnya, betapa berat penderitaannya ketika akan melahirkan putrinya tersebut. Ayah dari anak tersebut minggat setelah menghamilinya tanpa mau bertanggung jawab atas perbuatannya. Di samping itu keluarganya menuntut agar ia menggugurkan bayi yang belum dilahirkan, karena keluarganya merasa malu mempunyai seorang putri yang hamil sebelum nikah, tetapi ia tetap mempertahankannya, oleh sebab itu ia diusir dari rumah orang tuanya.

Selain aib yang harus di tanggung, ia pun harus bekerja berat di pabrik untuk membiayai hidupnya. Ketika ia melahirkan putrinya, tidak ada seorang pun yang mendampinginya. Ia tidak mendapatkan kecupan manis maupun ucapan selamat dari siapapun juga, yang ia dapatkan hanya cemohan, karena telah melahirkan seorang bayi haram tanpa bapak. Walaupun demikian ia merasa bahagia sekali atas berkat yang didapatkannya dari Tuhan di mana ia telah dikaruniakan seorang putri. Ia berjanji akan memberikan seluruh kasih sayang yang ia miliki hanya untuk putrinya seorang, oleh sebab itulah putrinya diberi nama Love - Kasih.

Siang ia harus bekerja berat di pabrik dan di waktu malam hari ia harus menjahit sampai jauh malam, karena itu merupakan penghasilan tambahan yang ia bisa dapatkan. Terkadang ia harus menjahit sampai jam 2 pagi, tidur lebih dari 4 jam sehari itu adalah sesuatu kemewahan yang tidak pernah ia dapatkan. Bahkan Sabtu Minggu pun ia masih bekerja menjadi pelayan restaurant. Ini ia lakukan semua agar ia bisa membiayai kehidupan maupun biaya sekolah putrinya yang tercinta. Ia tidak mau menikah lagi, karena ia masih tetap mengharapkan, bahwa pada suatu saat ayah dari putrinya akan datang balik kembali kepadanya, di samping itu ia tidak mau memberikan ayah tiri kepada putrinya.

Sejak ia melahirkan putrinya ia menjadi seorang vegetarian, karena ia tidak mau membeli daging, itu terlalu mahal baginya, uang untuk daging yang seyogianya ia bisa beli, ia sisihkan untuk putrinya. Untuk dirinya sendiri ia tidak pernah mau membeli pakaian baru, ia selalu menerima dan memakai pakaian bekas pemberian orang, tetapi untuk putrinya yang tercinta, hanya yang terbaik dan terbagus ia berikan, mulai dari pakaian sampai dengan makanan.

Pada suatu saat ia jatuh sakit, demam panas. Cuaca di luaran sangat dingin sekali, karena pada saat itu lagi musim dingin menjelang hari Natal. Ia telah menjanjikan untuk memberikan sepeda sebagai hadiah Natal untuk putrinya, tetapi ternyata uang yang telah dikumpulkannya belum mencukupinya. Ia tidak ingin mengecewakan putrinya, maka dari itu walaupun cuaca di luaran dingin sekali, bahkan dlm keadaan sakit dan lemah, ia tetap memaksakan diri untuk keluar rumah dan bekerja. Sejak saat tersebut ia kena penyakit rheumatik, sehingga sering sekali badannya terasa sangat nyeri sekali. Ia ingin memanjakan putrinya dan memberikan hanya yang terbaik bagi putrinya walaupun untuk ini ia harus bekorban, jadi dlm keadaan sakit ataupun tidaksakit ia tetap bekerja, selama hidupnya ia tidak pernah absen bekerja demi putrinya yang tercinta.

Karena perjuangan dan pengorbanannya akhirnya putrinya bisa melanjutkan studinya di luar kota. Di sana putrinya jatuh cinta kepada seorang pemuda anak dari seorang konglomerat beken. Putrinya tidak pernah mau mengakui bahwa ia masih mempunyai orang tua. Ia merasa malu bahwa ia ditinggal minggat oleh ayah kandungnya dan ia merasa malu mempunyai seorang ibu yang bekerja hanya sebagai babu pencuci piring di restaurant. Oleh sebab itulah ia mengaku kepada calon suaminya bahwa kedua orang tuanya sudah meninggal dunia.

Pada saat putrinya menikah, ibunya hanya bisa melihat dari jauh dan itupun hanya pada saat upacara pernikahan di gereja saja. Ia tidak diundang, bahkan kehadirannya tidaklah diinginkan. Ia duduk di sudut kursi paling belakang di gereja, sambil mendoakan agar Tuhan selalu melindungi dan memberkati putrinya yang tercinta. Sejak saat itu bertahun-tahun ia tidak mendengar kabar dari putrinya, karena ia dilarang dan tidak boleh menghubungi putrinya.

Pada suatu hari ia membaca di koran bahwa putrinya telah melahirkan seorang putera, ia merasa bahagia sekali mendengar berita bahwa ia sekarang telah mempunyai seorang cucu. Ia sangat mendambakan sekali untuk bisa memeluk dan menggendong cucunya, tetapi ini tidak mungkin, sebab ia tidak boleh menginjak rumah putrinya. Untuk ini ia berdoa tiap hari kepada Tuhan, agar ia bisa mendapatkan kesempatan untuk melihat dan bertemu dengan anak dan cucunya, karena keinginannya sedemikian besarnya untuk bisa melihat putri dan cucunya, ia melamar dengan menggunakan nama palsu untuk menjadi babu di rumah keluarga putrinya.

Ia merasa bahagia sekali, karena lamarannya diterima dan diperbolehkan bekerja disana. Di rumah putrinya ia bisa dan boleh menggendong cucunya, tetapi bukan sebagai Oma dari cucunya melainkan hanya sebagai babu dari keluarga tersebut. Ia merasa berterima kasih sekali kepada Tuhan, bahwa ia permohonannya telah dikabulkan.

Di rumah putrinya, ia tidak pernah mendapatkan perlakuan khusus, bahkan binatang peliharaan mereka jauh lebih dikasihi oleh putrinya daripada dirinya sendiri. Di samping itu sering sekali dibentak dan dimaki oleh putri dan anak darah dagingnya sendiri, kalau hal ini terjadi ia hanya bisa berdoa sambil menangis di dlm kamarnya yang kecil di belakang dapur. Ia berdoa agar Tuhan mau mengampuni kesalahan putrinya, ia berdoa agar hukuman tidak dilimpahkan kepada putrinya, ia berdoa agar hukuman itu dilimpahkan saja kepadanya, karena ia sangat menyayangi putrinya.

Setelah bekerja bertahun-tahun sebagai babu tanpa ada orang yang mengetahui siapa dirinya dirumah tersebut, akhirnya ia menderita sakit dan tidak bisa bekerja lagi. Mantunya merasa berhutang budi kepada pelayan tuanya yang setia ini sehingga ia memberikan kesempatan untuk menjalankan sisa hidupnya di rumah jompo.

Puluhan tahun ia tidak bisa dan tidak boleh bertemu lagi dengan putri kesayangannya. Uang pension yang ia dapatkan selalu ia sisihkan dan tabung untuk putrinya, dengan pemikiran siapa tahu pada suatu saat ia membutuhkan bantuannya. Pada tahun lampau beberapa hari sebelum hari Natal, ia jatuh sakit lagi, tetapi ini kali ia merasakan bahwa saatnya sudah tidak lama lagi. Ia merasakan bahwa ajalnya sudah mendekat. Hanya satu keinginan yang ia dambakan sebelum ia meninggal dunia, ialah untuk bisa bertemu dan boleh melihat putrinya sekali lagi. Di samping itu ia ingin memberikan seluruh uang simpanan yang ia telah kumpulkan selama hidupnya, sebagai hadiah terakhir untuk putrinya.

Suhu diluaran telah mencapai 17 derajat di bawah nol dan saljupun turun dengan lebatnya, jangankan manusia anjingpun pada saat ini tidak mau keluar rumah lagi, karena di luaran sangat dingin, tetapi Nenek tua ini tetap memaksakan diri untuk pergi ke rumah putrinya. Ia ingin betemu dengan putrinya sekali lagi yang terakhir kali. Dengan tubuh menggigil karena kedinginan, ia menunggu datangnya bus berjam-jam di luaran. Ia harus dua kali ganti bus, karena jarak rumah jompo tempat di mana ia tinggal letaknya jauh dari rumah putrinya. Suatu perjalanan yang jauh dan tidak mudah bagi seorang nenek tua yang berada dlm keadaan sakit.

Setiba di rumah putrinya dlm keadaan lelah dan kedinginan ia mengetuk rumah putrinya dan ternyata putrinya sendiri yang membukakan pintu rumah gedong di mana putrinya tinggal. Apakah ucapan selamat datang yang diucapkan putrinya? Apakah rasa bahagia bertemu kembali dengan ibunya? Tidak! Bahkan ia ditegor: "Kamu sudah bekerja di rumah kami puluhan tahun sebagai pembantu, apakah kamu tidak tahu bahwa untuk pembantu ada pintu khusus, ialah pintu di belakang rumah!"

"Nak, Ibu datang bukannya untuk bertamu melainkan hanya ingin memberikan hadiah Natal untukmu. Ibu ingin melihat kamu sekali lagi, mungkin yang terakhir kalinya, bolehkah saya masuk sebentar saja, karena di luaran dingin sekali dan sedang turun salju. Ibu sudah tidak kuat lagi nak!" kata wanita tua itu.

"Maaf saya tidak ada waktu, di samping itu sebentar lagi kami akan menerima tamu seorang pejabat tinggi, lain kali saja. Dan kalau lain kali mau datang telepon dahulu, jangan sembarangan datang begitu saja!" ucapan putrinya dengan nada kesal. Setelah itu pintu ditutup dengan keras. Ia mengusir ibu kandungnya sendiri, seperti juga mengusir seorang pengemis.

Tidak ada rasa kasih, jangankan kasih, belas kasihanpun tidak ada. Setelah beberapa saat kemudian bel rumah bunyi lagi, ternyata ada orang mau pinjam telepon di rumah putrinya "Maaf Bu, mengganggu, bolehkah kami pinjam,teleponnya sebentar untuk menelpon ke kantor polisi, sebab di halte,bus di depan ada seorang nenek meninggal dunia, rupanya ia mati kedinginan!"

Wanita tua ini mati bukan hanya kedinginan jasmaniahnya saja, tetapi juga perasaannya. Ia sangat mendambakan sekali kehangatan dari kasih sayang putrinya yang tercinta yang tidak pernah ia dapatkan selama hidupnya. Seorang Ibu melahirkan dan membesarkan anaknya dengan penuh kasih sayang tanpa mengharapkan pamrih apapun juga. Seorang Ibu bisa dan mampu memberikan waktunya 24 jam sehari bagi anak-anaknya, tidak ada perkataan siang maupun malam, tidak ada perkataan lelah ataupun tidak mungkin dan ini 366 hari dlm setahun. Seorang Ibu mendoakan dan mengingat anaknya tiap hari bahkan tiap menit dan ini sepanjang masa. Bukan hanya setahun sekali saja pada hari-hari tertentu. Kenapa kita baru bisa dan mau memberikan bunga maupun hadiah kepada Ibu kita hanya pada waktu hari Ibu saja "Mother's Day" sedangkan di hari-hari lainnya tidak pernah mengingatnya, boro-boro memberikan hadiah, untuk menelpon saja kita tidak punya waktu.

Kita akan bisa lebih membahagiakan Ibu kita apabila kita mau memberikan sedikit waktu kita untuknya, waktu nilainya ada jauh lebih besar daripada bunga maupun hadiah. Renungkanlah: Kapan kita terakhir kali menelpon Ibu? Kapan kita terakhir mengundang Ibu? Kapan terakhir kali kita mengajak Ibu jalan-jalan? Dan kapan terakhir kali kita memberikan kecupan manis dengan ucapan terima kasih kepada Ibu kita? Dan kapankah kita terakhir kali berdoa untuk Ibu kita?

Berikanlah kasih sayang selama Ibu kita masih hidup, percuma kita memberikan bunga maupun tangisan apabila Ibu telah berangkat, karena Ibu tidak akan bisa melihatnya lagi.

When Mother prayed, she found sweet rest,
When Mother prayed, her soul was blest;
Her heart and mind on Christ were stayed,
And God was there when Mother prayed!
Our thanks, O God, for mothers
Who show, by word and deed,
Commitment to Thy will and plan
And Thy commandments heed.
A thousand men may build a city,
but it takes a mother to make a home.
No man is poor who has had a godly mother!



Mohon hubungi pembuat serta Pondok Renungan (kontak@pondokrenungan.com),
jika anda ingin menyebarkan karya ini.


MAKNA KEBANGKITAN KRISTUS

Rasul Paulus, salah seorang pengikut Kristus yang sebelum bertobat menjadi penantangnya bahkan membunuh orang-orang Kristen, menulis bahwa jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kita (baca: 1Korintus 15:17). Peristiwa kebangkitan tersebut sangat penting karena Kebangkitan Kristus:
Mengesahkan bahwa Tuhan Yesus Kristus, adalah Allah yang tidak dapat ditaklukkan oleh maut, bahkan maut telah dikalahkannya (baca Yohanes 11:25). Oleh karena itu, barangsiapa yang percaya kepada-Nya sekalipun akan mengalami kematian jasmani, namun akan tetap hidup dalam roh bersama Tuhan.
Menyatakan bahwa iman umat Kristen didasarkan pada fakta sejarah dan bukanlah mitos (baca 1Korintus 15:3-8).
Mengukuhkan bahwa pernyataan Kristus yang mengatakan bahwa pada Hari yang Ketiga Ia akan bangkit dari kematian. Inilah keunikan Kristus, yang tidak dimiliki penganjur agama lainnya (baca Kisah Para Rasul 2:23-24).
Menunjukkan bahwa penebusan Kristus di kayu salib untuk membenarkan orang berdosa sehingga mereka bisa diterima oleh Allah Bapa (baca Roma 4:25).
Merupakan inti Injil, tiada berita sukacita yang sempurna dan sejati bagi umat manusia bila Kristus tidak dibangkitkan (baca 1Korintus 15:18-19).
Memungkinkan umat manusia mengenal dan menemukan-Nya pada masa kini, karena Dia tetap hidup (baca Wahyu 2:8).
Menjamin kebangkitan orang-orang percaya di masa yang akan datang, karena Dialah buah sulung kebangkitan (baca 1Korintus 15:20-22).
Mengalahkan kuasa maut. Sekalipun masih ada keresahan dalam menghadapi kematian, namun kita harus melenyapkan ketakutan terhadap apa yang akan terjadi diseberang kematian tersebut (baca 1Korintus 15:55-56; Ibrani 2:14-15).
Memberi kemenangan bagi orang-orang percaya, memperoleh kuasa ilahi untuk mengalahkan kejahatan (baca Efesus 1:18-21).
Menjadi model bagi kebangkitan orang-orang percaya dengan tubuh yang mulia dalam kehidupan yang tidak berkeputusan, kekal dan abadi (baca 1Korintus 15:35-44,49).
Menegaskan akan kedatangan Tuhan yang kedua kalinya, untuk membawa umat manusia pada akhir sejarah (baca Kisah Para Rasul 17:31).
Mendorong orang-orang percaya untuk tidak goyah dalam iman dan giat bekerja bagi kerajaan Allah, mengabarkan Injil Keselamatan Tuhan Yesus Kristrus, karena mengetahui bahwa semua jerih lelah tersebut tidak sia-sia (baca 1Korintus 15:58).

Tatkala murid-murid Tuhan Yesus dalam ketakutan yang hebat pada malam hari Kebangkitan Tuhan, pada PASKAH Pertama, tiba-tiba Tuhan Yesus muncul di tengah-tengah mereka dengan mengucapkan sebuah kalimat yang sungguh menjadi dambaan umat manusia sepanjang sejarah: "Damai sejahtera bagi kamu!", sambil menunjukkan telapak tangan-Nya yang bekas dipaku dan rusuk-Nya yang telah ditusuk. Rasul Yohanes kemudian melaporkan bahwa murid-murid itu bersukacita ketika mereka melihat Tuhan (baca Yohanes 20:19-20).

Di tengah dunia yang menakutkan ini -- penduduk dunia menghadapi ketidakpastian ekonomi, sosial dan politik, serta makin merosotnya moral dan meningkatnya kejahatan. Kiranya ucapan Tuhan Yesus: "Damai sejahtera bagi kamu!", akan sungguh-sungguh memberi kita sukacita, karena mengetahui bahwa Tuhan yang sudah mati dan bangkit itu, berkuasa atas sejarah manusia. Dengan menyadari bahwa sebagai manusia yang terdiri dari darah dan daging, kita masih dimungkinkan resah menghadapi kenyataan yang tidak menggembirakan ini, marilah dengan iman kita menghadapi kehidupan dan masa depan kita dengan penuh sukacita surgawi yaitu sukacita yang melebihi akal. Juga dengan penuh gairah seperti para pengikut Tuhan di masa permulaan Gereja menyaksikan kasih dan penebusan Kristus kepada mereka yang belum percaya, karena yakin bahwa segala kuasa di bumi dan di surga telah diberikan kepada-Nya serta Dia pun berjanji untuk senantiasa menyertai kita (baca Matius 28:18). Semoga PASKAH tahun ini membawa suatu perubahan radikal dalam kehidupan pribadi, keluarga maupun pelayanan kita, hingga Nama Tuhan dimuliakan.

Sumber: Judul Artikel :           Makna Kebangkitan Kristus
Penulis             :           Pdt. Bob Jokiman
Situs    :           GKI Monrovia
URL    :           http://www.gki.org/article/


e-JEMMi 15/2003

Aroma Pra Paskah


Setiap hari, dalam perjalanan pulang dari kantor, aku mempunyai ritual yang sangat menyenangkan. Perjalanan yang macet membuatku harus melewati ‘jalan tikus’ yang sempit. Tapi di jalan itulah aku justru menemukan kesenangan baru yang selalu membuat aku dan suamiku tersenyum. Di pertigaan yang sempit, di teras sebuah rumah, ada seorang penjual sate ayam yang rupanya cukup laris karena kulihat pembelinya cukup banyak setiap sorenya. Nah..ketika melewati penjual sate di pertigaan tersebut, mobil kami harus berbelok perlahan. Saat itulah kubuka kaca jendelaku dan langsung berhamburan masuk aroma sate ayam yang sangat harum ke dalam mobilku. Makin lama kaca jendelaku kubuka, maka makin banyak pula aroma harum yang masuk. Aroma sate ayam kesukaanku, yang bisa membuat perutku menagih untuk diisi. Suamiku selalu tersenyum melihat aku yang sangat menikmati aroma itu, karena dia sendiri sebetulnya tidak suka sate ayam. Saat itu hanya aromanya saja yang bisa kunikmati, karena mobil kami tidak mungkin berhenti untuk parkir hanya untuk membeli makanan kesukaanku itu. Tak apalah, pikirku. Toh nanti aku dapat membelinya di tukang sate langgananku yang dekat dengan rumahku.

Hingga pada suatu sore, kulihat seorang anak lelaki kecil penjual koran yang berbaju lusuh, berdiri tak jauh dari tukang sate tersebut. Badannya begitu kurus dan dekil. Sesekali matanya menatap penjual sate dan para pembelinya, tapi dia tak beranjak dari tempatnya berdiri. Aku yakin dia pasti juga sedang menikmati aroma sate itu, sama seperti aku. Tapi kami berbeda dalam banyak hal. Aku bisa membeli sate itu setelah pulang, atau mungkin membeli makanan lain yang kusuka juga. Uang di dompetku cukup untuk membeli sate bagi diriku sendiri, anak-anakku di rumah dan juga bagi anak kecil penjual koran tersebut. Tapi anak itu, pasti di otaknya masih sibuk berpikir. Kalau aku membeli sate, untung yang kudapat dari hasil menjual koran pasti berkurang. Berarti uang yang harus kuberikan kepada ibuku juga berkurang. Berarti ibuku juga harus mengurangi jatah belanjaannnya untuk membeli makanan buatku dan saudara-saudaraku. Tegakah aku? Hanya demi seporsi sate yang kuinginkan? Betapa dia harus menahan keinginannya sedemikian rupa. Itu yang ada di pikiranku ketika melihat dia, anak lelaki kecil penjual koran, yang berdiri di dekat tukang sate.

Aku tetap membuka kaca jendela dan membiarkan aroma itu masuk seperti biasanya. Tapi kini kuhirup dengan rasa pedih. Aku bisa menikmati sate itu, tidak hanya aromanya, tanpa rasa khawatir. Tapi anak lelaki kecil itu, mungkin dia hanya bisa menikmati aromanya saja.

Malam harinya, kulihat sebuah acara yang menarik di televisi. Tentang hipnotis. Seorang penghipnotis yang bisa membuat banyak orang berpikir dan bertindak sesuai dengan keinginan sang penghipnotis itu, hanya dengan mendengar kata-kata yang diucapkan olehnya. Sungguh hebat! Tapi sungguh mengerikan, mengingat banyak kejahatan juga yang sudah terjadi karena hipnotis. Kemudian aku berpikir, maukah sang penghipnotis itu melakukan keahliannya dengan tujuan yang lebih baik. Misalnya dia menghipnotis aku, supaya aku berpikir dan bertindak seperti anak lelaki kecil penjual koran yang tadi kulihat. Mungkin aku bisa lebih memahami penderitaannya, kesedihannya, kemiskinannya, keterbatasannya. Mungkin dengan begitu aku lebih mampu berempati. Tapi kupikir itu semua juga akan sia-sia. Karena setelah aku sadar dari pengaruh hipnotis itu, maka aku akan segera lupa apa yang sudah terjadi selama aku dihipnotis. Dan itu artinya, aku juga akan lupa bahwa tadi aku sempat menghayati penderitaan sesamaku, meski cuma sebentar.

Jadi, perlukah aku dihipnotis? Hanya sekedar untuk melihat bahwa masih banyak kemiskinan dan penderitaan di sekitarku? Apakah dalam keadaan sadar, aku tak bisa melihat dengan mata kepalaku sendiri? Ataukah mata hatiku telah tumpul? Bahkan di masa pra paskah ini, dimana aku harus berpantang dan berpuasa, aku masih harus berpikir-pikir kesenangan macam apa yang akan menjadi pantanganku. Kadang-kadang kusiasati juga supaya aku tak terlalu ‘menderita’ di masa pra paskah ini. Padahal masa ini begitu singkatnya, hanya seperberapa dalam satu tahun.

Hati nuraniku rupanya harus lebih kuasah lagi. Hati nurani yang kadang tumpul melihat banyaknya anak-anak terlantar di jalan, anak-anak yang sudah harus berjuang dalam hidup ini. Bahkan hati nurani ini kadang hanya bisa menangis melihat penderitaan kaum miskin yang kebingungan mencari hutangan untuk mengobati sanak keluarganya yang terserang demam berdarah, wabah yang sedang melanda negeriku tercinta ini. Dan kematian pun menjemput karena tak ada sepeserpun uang untuk berobat ke dokter. Hati nurani yang hanya bisa menjerit ketika darah pun diperjualbelikan di atas penderitaan sesama. Selalu ada celah untuk mengambil kesempatan dalam kesempitan. Hati nurani telah mati.

Aku ada di sini, di depan komputer dan mengetikkan sesuatu yang sangat menyedihkan. Penderitaan. Kemiskinan. Pengendalian diri. Keterbatasan. Kematian. Hati nurani. Tumpul. Sungguhkah hati nuraniku sudah tumpul? Bahkan di masa pra paskah ini? Mengerikan. Bagaimana jadinya di masa-masa bukan pra paskah?


4 Maret 2004

Dotty


PASKAH ADALAH SEBUAH KEHIDUPAN

    "Ia harus bangkit dari antara orang mati,". Saudara-saudariku seiman yang dikasihi dalam cinta Kristus yang bangkit. Ijinkan saya meperdengarkan pada kalian sebuah permenungan tentang cinta Tuhan kepada umat manusia. Kebangkitan adalah sebuah cetusan terdalam yang mengungkapkan kesetiaan Allah dalam sejarah keselamatan. Cinta dan kesetiaan yang mendalam terhadap Yesus mendorong Maria untuk untuk berada di kuburan pada jam dini hari. Cinta itulah yang membuat dia percaya bahwa Yesus masih hidup.

    Menurut tradisi, Yesus menunjukkan diri secara pribadi kepada Petrus sesudah Dia bangkit. Orang yang menaruh cinta kepada Kristus yang bangkit senantiasa menaruh kepastian dalam hidup ini. Pahit, getirnya hidup, kekecewaan dan kegagalan, sengsara dan kematian adalah awal dan jalan menuju persatuan yang sempurna dengan Kristus yang dicintainya.

    Optimisme senantiasa mewarnai hidup orang yang mencintai Kristus yang bangkit. Hal ini berindikasikan bahwa Allah tidak hanya mewahyukan bahwa Yesus hidup. Hidup Kristus yang mulia mempunyai arti keselamatan bagi manusia. Itulah isi pokok pewahyuan Allah dan iman para murid. Paulus berkata bahwa Yesus "oleh kebangkitanNya dari antara orang mati dinyatakan Anak Allah yang berkuasa,(Rm.1:4). Dalam khotbah Petrus pada hari pentekosta tidak dipakai gelar "Anak Allah" tetapi Tuhan dan Kristus.(Kis.2:36). Dengan kebangkitan Allah menyatakan dukunganNya terhadap Yesus. Dengan kebangkitan menjadi jelas, bahwa Yesus sungguh di utus oleh Allah.

    Namun yang lebih penting bahwa dengan kebangkitan menjadi jelas bahwa Yesus diterima oleh Allah. Pada hal wafat Yesus pada Kayu Salib memberi kesan bahwa Yesus ditolak oleh Allah. Kebangkitan tidak hanya mengubah pandangan para murid terhadap diri Yesus sendiri, melainkan juga terhadap wafatNya. Bagi orang Yahudi segala kemalangan di dunia ini hukuman untuk dosa (Yoh.9:1-2), apalagi kematian. Dengan kebangkitanNya menjadi jelas bahwa Yesus bukan Pendosa.. Jadi wafatNya juga bukan hukuman untuk dosa.

    Maka ada sebuah pertanyaan yang perlu direfleksikan oleh semua kita, mengapa Yesus harus mati, kalau ternyata Ia tidak mempunyai dosa ?. Dan dari pertanyaan ini timbul kesadaran bahwa Yesus memang tidak mati karena dosaNya tetapi karena dosa-dosa kita. Dasar wafat Kristus adalah solidaritas dengan orang berdosa. Maka prinsip solidaritas itu dapat di balik. Jika Kristus senasib dengan kita sampai pada kematian, maka kita tetap bersatu dengan Kristus, juga dalam kebangkitan. Karena Kristus sudah terlanjur bersatu dengan kita., maka dengan menarik Kristus, Allah menarik kita semua bersama Kristus. Keyakinan ini dirumuskan dengan mengatakan bahwa Kristus dibangkitkan dari antara orang mati sebagai yang sulung dari orang yang telah meninggal (1Kor.15:20). Jadi Kristus sebagai buah sulung (bdk.ay.23).

    Yesus diserahkan karena pelanggaran kita dan dibangkitkan demi pembenaran kita (Rom.4:25). Kebangkitan itu inti pokok keselamatan. Kebangkitan Kristus tidak hanya merupakan dasar dan awal iman Kristen. Bagi kita sekarang paska adalah juga perayaan yang paling besar, liturgy paska tidak merupakan pengenangan akan kebangkitan dalam pengalaman para murid, tetapi juga kebangkitan Kristus atau paska dirayakan kemuliaan Kristus yang dilambangkan dengan lilin paska, yang dinyalakan dengan api baru (lambang kebaruan hidup). Di sini kegelapan dosa dihalau oleh cahaya tugu api. Bagi umat yang mengimani Kristus, dibebaskan dari kejahatan dunia dan kegelapan dosa. Paska merupakan perayaan keselamatan, yang dinyatakan terutama dengan lilin paska dan sakramen Baptis.

    Mari saudara dan saudariku, kita teguh dalam iman agar kita pun bangkit dari keletih-lesu-an kita. Semoga kita sungguh merasakan dan menghayati "Kebangkitan" sebagai sebuah kehidupan baru yang dialami oleh setiap kita sepanjang hidup kita. Amin.

Penulis: Ansel

" APA? AKU, HANYA SEORANG HAMBA?"

"Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya." (Roma 8:28,29)

"Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus." (Filipi 2:5)

Apa? Aku, hanya seorang hamba? Bagaimana mungkin aku dapat mempengaruhi kehidupan orang lain?

Seperti Musa, kita mungkin merasa tidak sanggup untuk melakukan tugas pekerjaan yang Yesus berikan kepada kita. Tetapi, apa yang membedakan kita dengan dunia ini adalah bukan hanya mengenai hal-hal apa yang kita katakan, melainkan apa yang kita lakukan -- bagaimana kita menjalani hidup kita sehari-hari.

Salah seorang wanita paling saleh yang saya kenal tidak pernah menulis buku atau berkhotbah, namun kita dapat melihat betapa tekunnya ia dalam mendengarkan! Seringkali kita menganggap remeh karunia yang kelihatannya kecil itu, padahal perkara-perkara kecil itulah yang dapat menunjukkan kepada orang lain jika Allah yang berdiam di dalam diri kita adalah nyata. Salah seorang kawan dekat saya datang kepada Kristus bukan karena khotbah bagus yang ia dengar, melainkan karena seorang Kristen yang dengan setia mengunjunginya tiap hari selama sebulan, setelah ia mendapat kecelakaan akibat mengemudi dalam keadaan mabuk.

Tidak seorang pun di antara kita yang tidak berarti. Kita semua bisa memberikan pengaruh! Kita mungkin tidak bisa seperti Billy Graham, tetapi Allah akan menempatkan kita pada posisi yang di situ kita bisa melayani dan memuliakan Dia. Yang perlu kita lakukan hanyalah memohon pada-Nya.

Salah seorang pahlawan dalam Perjanjian Baru adalah Stefanus. Ia melayani orang-orang dengan jalan mengurus diakonia. Ketika itu gereja mula-mula sedang bertumbuh dengan sangat cepat (lebih dari tiga ribu orang menjadi Kristen pada satu hari Pentakosta saja). Namun setelah itu, timbul perselisihan mengenai pembagian makanan di antara orang-orang percaya. Para rasul menyadari bahwa di satu sisi mereka tetap harus memberitakan Firman, sehingga mereka merasa memerlukan bantuan untuk menangani administrasi. Para murid mengetahui bahwa tugas orang-orang ini akan banyak mempengaruhi kehidupan orang-orang di sekitar mereka. Maka dengan seksama, dipilihlah tujuh orang (termasuk Stefanus) untuk melakukan tugas itu.

Lalu, apa yang terjadi kemudian? Firman Allah terus menyebar, bukan hanya karena para pengkhotbah luar biasa seperti Petrus dan Yohanes, melainkan juga karena orang-orang lain seperti Stefanus yang "penuh dengan karunia dan kuasa, mengadakan mujizat-mujizat dan tanda-tanda di antara orang banyak (lihat Kisah Para Rasul 6:8). Dan Stefanus waktu itu hanya sebagai pengurus diakonia!

Dengan kedudukannya itu, tidak membuat peran Stefanus menjadi kurang penting dibanding mereka yang lain. Ia hanya membiarkan Allah memakai dirinya, sementara ia menjalani hidup dengan penuh ketaatan. Orang biasa pun menjadi luar biasa, yang pasif menjadi bersemangat, semua karena Stefanus bersedia melayani dan memberikan segalanya untuk memuliakan Tuhan.

"Maka, orang-orang benar itu akan menjawab Dia, katanya: Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar dan kami memberi Engkau makan, atau haus dan kami memberi Engkau minum? Bilamanakah kami melihat Engkau sebagai orang asing, dan kami memberi Engkau tumpangan, atau telanjang dan kami memberi Engkau pakaian? Bilamanakah kami melihat Engkau sakit atau dalam penjara dan kami mengunjungi Engkau? Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku." (Matius 25:37-40)

Bahan diedit dari sumber:
Judul Buku : Pola Hidup Kristen
Judul Artikel: Apa? Aku, Hanya Seorang Hamba?
Penulis : Shawn Robinson
Penerbit : Gandum Mas, Yayasan Kalam Hidup, YAKIN
Halaman : 965 - 967   

            |          



           



Beban sebuah Dosa


Seorang pendeta berdiri di pinggir jalan di dekat sebuah halte bus. Tak henti-hentinya ia berteriak: “Siapa yang percaya bahwa Yesus adalah Tuhan, maka ia akan diselamatkan.” Ia juga meneriakan agar semua manusia bertobat dan tak berbuat dosa.

Tiba-tiba seorang anak muda datang dan berdiri di depannya lalu bertanya; “Bapak pendeta; Anda mengatakan bahwa semua manusia adalah orang-orang berdosa tanpa terkecuali. Membawa serta dosa dalam diri sendiri sama dengan memikul sebuah beban yang amat berat. Namun saya tak pernah merasakannya sedikitpun. Katakanlah padaku, berapa berat sebuah dosa itu? Lima kilo? Sepuluh kilo? Atau seratus kilo?”

Sang pendeta memperhatikan anak muda tersebut dengan seksama lalu balik bertanya; “Bila kita meletakan 500 kilo beban ke atas mayat, apakah mayat tersebut akan merasa bahwa beban yang dipikulnya itu berat?” Dengan cepat dan pasti anak muda tersebut menjawab; “Tentu saja tidak!! Ia pasti tidak merasa berat karena ia telah mati.”

Sang pendeta mengagumi anak muda tersebut. Sambil tersenyum ia menjawab; “Hal yang sama terjadi pada kita. Kita tentu tak merasa bahwa beban dosa yang kita pikul itu berat. Karena pada saat kita berada dalam dosa, saat itulah kita sebetulnya telah mati.”

-------------

Bila anda masih mampu merasa sakit berhadapan dengan dosa-dosa yang anda perbuat, maka bersyukurlah karena Roh Kudus sedang bekerja dalam diri anda untuk mengingatkan anda untuk tak berbuat dosa lagi. Namun bila suatu saat anda tak merasa bersalah sedikitpun saat berbuat dosa, maka saat itu sebetulnya anda telah mati.

“Karena itu setiap orang yang tetap berada di dalam Dia, tidak berbuat dosa lagi; setiap orang yang tetap berbuat dosa, tidak melihat dan tidak mengenal Dia.” (1 Yohanes 3: 6)

Tarsis Sigho - Taipei


Berkorban Itu Indah


Musim hujan sudah berlangsung selama dua bulan sehingga dimana-mana pepohonan tampak menjadi hijau. Seekor ulat menyeruak di antara daun-daun
hijau yang bergoyang-goyang diterpa angin. " Apa Khabar daun hijau,"!! katanya. Tersentak daun hijau menoleh ke arah suara yang datang. "Oo,
kamu ulat. Badanmu kelihatan kecil dan kurus, mengapa?" tanya daun hijau. "
Aku hampir tidak mendapatkan dedaunan untuk makananku". " Bisakah engkau
membantuku sobat?" kata ulat kecil. "Tentu..tentu..mendekatlah ke
mari."
Daun hijau berpikir, Jika aku memberikan sedikit dari tubuhku ini
untuk makanan si ulat, aku akan tetap hijau, hanya saja aku akan kelihatan
belobang-lobang. tapi tak apalah. Perlahan-lahan ulat menggerakkan
tubuhnya menuju daun hijau. Setelah makan dengan kenyang, ulat berterima kasih kepada daun hijau yang telah merelakan bagian tubuhnya menjadi makanan si ulat.
Ketika ulat mengucapkan terima kasih kepada sahabat yang penuh kasih
dan pengorbanan itu, ada rasa puas didalam diri daun hijau. Sekalipun
tubuhnya kini berlobang disana sini namun ia bahagia bisa melakukan bagi ulat kecil yang lapar. Tidak lama berselang ketika musim panas datang daun hijau menjadi kering dan berubah warna. Akhirnya ia jatuh ketanah, disapu
orang dan dibakar.


Apa yang terlalu berarti di dalam hidup kita sehingga kita enggan berkorban sedikit saja bagi sesama ? Tokh akhirnya semua yang ada akan binasa. Daun hijau yang baik mewakili orang-orang yang masih mempunyai "hati" bagi sesamanya. Yang tidak menutup mata ketika melihat sesamanya dalam kesulitan. Yang tidak membelakangi dan seolah-olah tidak mendengar ketika sesamanya berteriak minta tolong. Ia rela melakukan sesuatu untuk kepentingan orang lain dan sejenak mengabaikan kepentingan diri sendiri.
merelakan kesenangan dan kepentingan diri sendiri bagi sesama memang
tidak mudah, tetapi indah.
Ketika berkorban, diri kita sendiri menjadi seperti daun yang berlobang
namun itu sebenarnya tidak mempengaruhi hidup kita. Kita akan tetap
hijau,

Allah akan tetap memberkati dan memelihara kita. Bagi "daun hijau" , berkorban merupakan satu hal yang mengesankan dan terasa indah serta memuaskan. Dia bahagia melihat sesamanya bisa tersenyum karena pengorbanan yang ia lakukan. Ia juga melakukannya karena menyadari
bahwa ia tidak akan selamanya tinggal sebagai daun hijau. Suatu hari ia akan kering dan jatuh. Demikianlah hidup kita, hidup ini hanya sementara kemudian
kita akan mati. itu sebabnya isilah hidup ini dengan perbuatan-perbuatan
baik : kasih, pengorbanan, pengertian, kesetiaan, kesabaran dan kerendahan hati.

Jadikanlah berkorban itu sebagai sesuatu yang menyenangkan dan membawa sukacita tersendiri bagi anda. Dalam banyak hal kita bisa berkorban. mendahulukan kepentingan sesama, melakukan sesuatu bagi mereka, memberikan apa yang kita punyai dan masih banyak lagi pengorbanan yang bisa dilakukan. Jangan lupa bahwa kita pernah menerima pengorbanan yang tiada taranyadari Yesus hingga kita bisa diselamatkan seperti sekarang ini



Mohon hubungi pembuat serta Pondok Renungan (kontak@pondokrenungan.com),
jika anda ingin menyebarkan karya ini.


Mutiara yang tidak ternilai harganya


Ada seorang misionaris di India , David Morse, yang bersahabat dengan seorang penyelam mutiara, Rambhau. Setiap sore di pondok Rambhau, ia membacakan firman Tuhan, dan menjelaskan kepadanya cara Tuhan membawa ke arah keselamatan.

Rambhau senang sekali mendengarkan firman Tuhan, tetapi setiap kali David berusaha untuk mengajak Rambhau menerima Kristus sebagai penebusnya, Rambhau menggelengkan kepalanya dan menjawab, "Cara orang Kristen ke surga sangat mudah untukku! Aku tidak bisa menerimanya. Jika aku ingin masuk ke surga dengan cara seperti itu, aku menjadi seperti seorang pengemis yang memohon belas kasihan. Mungkin aku sombong, tapi aku ingin mendapatkan tempat di surga dengan usahaku sendiri!"

Tidak ada yang bisa David katakan untuk mempengaruhinya. Waktu berjalan dengan cepat. Suatu sore, terdengar ketukan di pintu kamarnya. Ia menemukan Rambhau di sana.

"Silahkan masuk, sahabatku" kata David.

"Tidak,"kata Rambhau. "Aku ingin mengajakmu pergi ke rumahku, tuan, tidak lama kok, aku ingin memperlihatkan sesuatu kepadamu. Tolong jangan katakan tidak."

"Tentu saja aku akan datang," jawab David. Sesampainya di rumah Rambhau, ia berkata "Beberapa minggu lagi aku akan mulai bekerja untuk mendapatkan tempatku di surga; Aku akan pergi ke New Delhi, dan aku akan ke sana dengan jalan kaki."

"Bung, apakah kamu gila! Jarak dari sini ke Delhi adalah 900 mil, dan di dalam perjalanan kakimu akan lecet, keracunan, atau mungkin kena lepra sebelum kamu sampai ke Bombay. Kamu akan menderita!"

"Tidak, aku harus pergi ke Delhi," tegas Rambhau, "dan tidak ada makhluk hidup satu pun yang bisa mencegahku pergi ke sana! Penderitaan yang mungkin aku alami nanti, adalah penderitaan yang sangat manis, karena setelah itu aku pasti mendapatkan tempat di surga!"

"Temanku, Rambhau, kamu tidak bisa. Bagaimana aku bisa mencegahmu, kamu tahu kan Yesus telah menderita dan wafat di kayu salib hanya untuk menyediakan tempat untukmu!" = Tetapi keyakinan pria tua itu tidak terpengaruh. "Kamu adalah sahabatku yang terbaik di dunia, tuan Morse. Sepanjang tahun ini, kamu telah menemani aku ketika aku sakit, bahkan kau satu-satunya sahabatku. Meski demikian, kamu tidak akan bisa mencegah hasratku untuk mendapatkan tempat abadi... Aku harus pergi ke Delhi!!!"

Di dalam pondok itu, David duduk di kursi yang dibuat Rambhau secara khusus untuknya, di mana di situlah ia membacakan firman Tuhan untuk Rambhau.

Rambhau masuk ke ruangan lainnya lalu kembali lagi sambil membawa sebuah kotak besi. "Aku telah memiliki kotak ini selama beberapa tahun" katanya, "dan aku hanya menyimpan suatu yang berharga di sini. Sekarang aku akan menceritakan kepadamu, tuan Morse. Dulu, aku memiliki seorang putra..."

"Putra?" Kenapa, Rambhau, kenapa kamu tidak pernah mengatakan sesuatu tentangnya!"

"Tidak, tuan, aku tidak bisa." ia berkata sambil menangis.

"Sekarang aku harus mengatakannya kepadamu, karena sebentar lagi aku akan pergi dan siapa tahu kalau aku tidak kembali lagi? Putraku adalah seorang penyelam juga. Ia adalah penyelam mutiara yg terbaik di India. Ia penyelam yang tangkas, memiliki mata yang tajam, tangan yang kuat, dan nafas yang panjang ketika ia berada di dalam air untuk mencari mutiara. Ia adalah kebanggaanku! Semua mutiara, seperti yang kamu ketahui, memiliki cacat di mana hanya seorang pakar yang bisa untuk melihatnya, tetapi putraku selalu bermimpi untuk menemukan 'mutiara yang sempurna' yang belum pernah ditemukan. Suatu hari ia menemukannya! Tetapi ketika ia melihatnya, ia telah berada di dalam air terlalu lama... Mutiara itu merenggut nyawanya, ia meninggal tidak lama kemudian.."

Penyelam tua itu menundukkan kepalanya. Untuk beberapa saat, seluruh tubuhnya bergetar, tetapi tidak ada suara yang keluar. "Beberapa tahun ini," ia melanjutkan, "aku telah menyimpan mutiara ini, tetapi sekarang aku akan pergi, tidak akan kembali, dan untukmu, sahabatku, aku berikan mutiaraku ini."

Orang tua itu membuka kunci kotak itu dan mengambil dari dalam dengan hati-hati sebuat bungkusan. Kemudian ia membuka kapas yang menyelimuti mutiara itu, mengambil mutiara besar dan meletakan di tangan misionaris itu.

Itu adalah mutiara yang terbesar yang pernah ditemukan di pantai India, dan bersinar dengan cemerlang dan gemilang yang belum pernah ditemukan oleh orang. Mutiara itu mungkin memiliki nilai yang sangat tinggi.

Sejenak misionari itu tidak bisa berkata apa-apa, ia terpukau kagum. "Rambhau! Mutiara ini sangat indah!"

"Mutiara itu, tuan, adalah sempurna." jawab orang India pelan. Misionari itu berpikir : Apakah ini kesempatan dan saat yang ia tunggu, untuk membuat Rambhau mengerti mengenai nilai pengorbanan Kristus? Maka ia berkata kepada Rambhau, "Rambhau, ini adalah mutiara yang luar biasa indahnya dan mengagumkan. Biarkan aku membayarnya. Aku akan membelinya seharga $10000."

"Tuan, apa maksudmu?" "Oke, aku memberikan $15000, dan jika masih kurang akan aku usahakan untuk membayarkannya."

"Tuan," jawab Rambhau dengan kaku, "Mutiara ini tak ternilai harganya. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang memiliki uang yang cukup untuk membayar mutiara yang berharga ini. Di pasaran, 1 juta dollar pun tidak bisa untuk membayarnya. Aku tidak menjualnya untukmu. Ini hadiah untukmu."

"Tidak, Rambhau, aku tidak bisa menerimanya. Meski aku sangat menginginkan mutiara ini, aku tidak bisa menerimanya dengan cara itu. Mungkin aku terlalu sombong, tetapi hal itu sangat mudah. Aku harus membayarnya, atau bekerja untuk membayarnya..."

Penyelam mutiara itu terdiam. "Kamu tidak mengerti, tuan. Tidakkah kamu mengerti, putra tunggalku memberikan hidupnya untuk mendapatkan mutiara ini, dan aku tidak akan menjualnya untuk uang sepeser pun. Mutiara ini seharga dengan nyawa putraku. Aku tidak bisa menjualnya, tetapi aku bisa memberikannya untukmu. Terimalah sebagai tanda kasihku kepadamu."

Misionari itu terkejut, untuk sesaat ia tidak bisa berkata apa-apa. Kemudian dia mengambil tangan Rambhau. "Rambhau," katanya pelan, "Kamu sadar? Kata-kata yang kamu keluarkan barusan adalah yang ingin kusampaikan mengenai Tuhan selama ini."

Penyelam itu tertegun, setelah sekian lama berpikir akhirnya ia mengerti. "Tuhan menawarkanmu keselamatan sebagai hadiah yang gratis." kata misionari itu. "Hadiah ini sangat luar biasa dan tak ternilai harganya. Tidak ada orang yang bisa membelinya. Jutaan dollarpun terlalu sedikit. Hadiah ini seharga dengan pengorbanan Tuhan dengan menyerahkan putra tunggalNya untuk menyediakan tempatmu di surga. Meski jutaan tahun, kamu tidak akan bisa masuk ke surga jika kamu tidak menerima hadiah ini. Yang harus kamu lakukan adalah menerima cinta Tuhan."

"Rambhau, tentu saja aku akan menerima mutiara ini dengan rendah hati, bersyukur kepada Tuhan bahwa aku layak untuk mendapatkannya. Rambhau, apakah kamu bersedia menerima hadiah gratis dari surga, juga dengan rendah hati?"

Air mata dengan deras menetes di pipi penyelam itu. "Tuan, aku mengerti sekarang. Aku telah percaya ajaran Yesus 2 tahun ini, tetapi aku belum bisa mempercayai bahwa pengorbananNya tidak ternilai harganya. Aku mengerti sekarang, ada beberapa hal yang tidak bisa dinilai dengan uang. Tuan, aku bersedia menerima keselamatanNya!"



Mohon hubungi pembuat serta Pondok Renungan (kontak@pondokrenungan.com),
jika anda ingin menyebarkan karya ini.



Tugas Pemimpin Sejati
1 Petrus 5:2

Sebelum D.L. Moody menjadi salah seorang evangelist terbesar pada abat ke-19, ia menjalankan sebuah toko untuk sebuah Sekolah Minggu untuk menjangkau beberapa anak jalanan di Chicago. Kisah ini diceritakan oleh seorang 'jagoan' kecil yang terlihat setiap hari Minggu, yang selalu berusaha untuk pergi ke Sekolah Minggu. Jagoan kecil ini selalu menempuh perjalanan yang cukup panjang sebelum ia mencapai Sekolah Minggu. Pada satu hari, ketika badai salju sedang turun dengan derasnya, seorang pria melihat jagoan ini berusaha menembus terpaan angin, berusaha dengan sekuat tenaga menempuh perjalanan untuk pergi ke Sekolah Minggu Moody seperti biasa. Ia bertanya mengapa anak kecil ini selalu berusaha setiap minggu untuk pergi, meskipun pada hari ketika tidak ada seorang pun yang ingin keluar rumah, terlebih lagi, anak ini melewati begitu banyak gereja yang lebih dekat dari tempat tinggalnya. Penjelasan anak ini sangat sederhana dan jelas: "Aku pergi kesana karena mereka dapat membuat seseorang merasa dicintai."

Gambaran Yesus yang saya ingat selagi saya masih kecil berasal dari salah satu lukisan yang menggambarkan diriNya sebagai Gembala yang baik, dengan domba-dombaNya yang selalu mengikuti dari dekat, dan seekor domba kecil yang meringkuk nyaman dalam pelukanNya. Menariknya, sekarang ketika diri saya adalah seorang pemimpin Kristen, saya menyadari bahwa gambar itu seharusnya juga menjadi gambaran diri saya sendiri. Dan Anda juga, ketika Tuhan telah mempercayakan kepada Anda dengan segala macam pengaruh atau jalan dalam kehidupan orang-orang. Model diri Anda adalah menjadi seorang gembala - yang dikatakan oleh orang, "Dia dapat membuat seseorang merasa dikasihi."

Tertera dalam 1 Pet 5, mulai dari ayat 2, Tuhan berkata, "Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela .. dengan pengabdian diri." Jeda sebentar: perhatikan siapa yang menjadi kawanan domba Anda - anak-anak Anda. Mereka adalah kawanan domba Allah, bukan milik Anda. Jangan mulai bersikap bahwa mereka adalah milik Anda. Dan perhatikan juga, kawanan domba itu diberikan kepada Anda untuk digembalakan dengan sukarela dan kasih... bukan dibawah ibu jari Anda.

Petrus melanjutkan, "Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu." Gambaran Alkitabiah seperti apa untuk menjadi seorang pemimpin? Menggembalakan. Memimpin kawanan domba, dan bukan memerintah mereka. Mengasihi kawanan domba, dan bukan memanfaatkan mereka untuk kepentingan Anda. Memberikan contoh daripada meminta.

Jadi, jika Anda adalah seorang gembala, apa yang harus Anda kerjakan? Seorang gembala akan selalu memimpin kawanan dombanya untuk apa yang menjadi kebutuhan mereka. Jika Anda telah dipercayakan dengan orang-orang yang harus Anda pimpin, merupakan tugas Anda untuk dengan lembut mengarahkan mereka kepada apa yang menjadi kebutuhan mereka secara emosional, rohani, fisik, mental - dan mengetahui kapan mereka harus diberikan semangat, dibenarkan ketika mereka salah, dan dikasihi. Menjadi seorang pemimpin Kristiani adalah untuk memenuhi kebutuhan mereka, tidak memanfaatkan mereka untuk memenuhi kebutuhan Anda.

Menggembalakan juga berarti menjaga kawanan domba Anda agar tidak berkeliaran - membuat batasan-batasan yang jelas dan menarik mereka kembali ketika mereka mulai berkeliaran. Menjadi seorang gembala juga berarti melindungi kawanan domba Anda dari serangan musuh. Beberapa ayat yang terakhir dalam pasal 5 menceritakan ketika Petrus berbicara mengenai melawan singa yang mengaum yang mencari-cari orang untuk ditelannya. Merupakan tugas seorang pemimpin Kristiani untuk membuka mata dan menjaga celah darimana Iblis dapat masuk dan melindungi kawanan domba dari incaran singa.

Yesus juga mengajarkan satu hal lain yang dilakukan oleh seorang 'gembala yang baik." Dia berkata, "..Ia memanggil domba-dombanya masing-masing menurut namanya..." (Yoh 10:3). Dengan kata lain, jika Anda adalah seorang gembala yang baik, Anda akan memberikan perhatian kepada masing-masing dombaNya, tipe yang dirasakan oleh si jagoan kecil dari Sekolah Minggu D.L. Moody. Buatlah mereka merasa seperti orang terpenting di dunia ketika mereka bersama dengan Anda. Jangan perlakukan mereka sebagai domba yang tidak bernama.

Yesus merupakan gembala, dan sekarang Ia memanggil Anda untuk menjadi sepertiNya, mempercayakan Anda dengan kawanan domba yang telah Ia tebus. Apakah kepemimpinan seperti ini cukup layak untuk harga yang Anda bayarkan dan pengorbanan yang telah Anda berikan? Lihat 1 Pet 5:4, "Maka kamu, apabila Gembala Agung datang, kamu akan menerima mahkota kemuliaan yang tidak dapat layu. "

Terjemahan bebas: Lea Lesmana

Ron Hutchcraft

Mohon hubungi pembuat serta Pondok Renungan (kontak@pondokrenungan.com),
jika anda ingin menyebarkan karya ini.


Dilahirkan 2 kali


(Dipersembahkan untuk IBU yang berpesta tanggal 15 Agustus nanti: Diangkat ke Surga).

Seorang Yahudi yang lolos dari hukuman tentara Nazi berkisah tentang hidupnya:

Tak ada kata yang bisa mengungkapkan secara penuh pengorbanan yang diberikan ibuku kepadaku anaknya yang bungsu. Masih sangat jelas peristiwa saat itu di benakku. Ketika itu aku berumur 19 tahun. Saya beserta begitu banyak orang Yahudi lainnya sedang digiring dan dibawa ke kamp konsentrasi. Kami tahu dengan amat pasti bahwa hari-hari hidup kami kini telah mencapai ujungnya. Kami dibawa untuk menemui ajal kami entah di mana.

Beberapa grup orang Yahudi yang lain telah kami lewati. Kami juga tahu bahwa kelompok yang baru kami lewati ini akan tetap menetap dalam ghetto, mereka tak akan menemui nasib sebagaimana akan segera kami terima. Ketika aku melewati tempat di mana ibuku sedang berdiri, saat di mana kami tidak diperhatikan oleh tentara Nazi, ibuku memberikan kartu namanya kepadaku, mendorong aku ke samping lalu menempati barisanku. Walaupun hal ini terjadi lebih dari 50 tahun yang silam, namun aku tak akan lupa setiap kata yang pernah ia ucapkan saat itu; “Anakku, aku telah hidup cukup lama. Engkau harus bertahan hidup, karena engkau masih terlampau muda.¡¨Demikian bisik ibuku. Dan sejak saat itu aku tak pernah melihatnya lagi. Hampir semua anak dilahirkan cuman sekali. Tapi aku dilahirkan dua kali oleh ibu yang sama.”

---------------
Aku yakin, ketika ia berdiri di bawah kaki salib Yesus, hati Maria hancur berantakan, tak hanya karena yang tergantung di palang salib itu adalah anaknya, tetapi juga karena kini ia menemukan dirinya tak berdaya untuk membantunya mengurangi penderitaan yang kini tengah ditanggung.

“Terpujilah Engkau di antara wanita.....!!!”

Tarsis Sigho - Taipei
Email: sighotarsi@yahoo.com

Mohon hubungi pembuat serta Pondok Renungan (kontak@pondokrenungan.com),
jika anda ingin menyebarkan karya ini.


Abu dan Pertobatan


Puasa dimulai hari Rabu abu ini dengan penerimaan abu yang merupakan suatu tanda pertobatan yang bersifat komunal. Di seluruh dunia setiap orang katolik menerima abu di dahinya sebagai ungkapan kesediaan mereka untuk memulai saat pertobatan. Abu yang telah kita terima di dahi itu tak dapat disembunyikan seperti halnya saat kita menerima suntikan, di mana setelah disuntik kita bisa menutupinya dengan menurunkan kembali lengan baju. Abu diberikan di dahi dan karenanya semua orang bisa melihatnya dengan mudah.

Di hari Rabu abu kita tidak datang menerima abu di tangan dan secara sembunyi-sembunyi kita kembali lalu mengoleskannya di dahi. Dahi yang bersih saat kita datang kini ditaburi abu untuk bias dilihat secara jelas oleh semua orang tanpa mampu bersembunyi.

Tentu ketika kita keluar dari pintu gereja setelah menerima abu di dahi, kita mungkin akan merasa malu bahwa justru bagian diri kita yang biasanya dengan mudah dilihat orang kini dikotori. Apa lagi kalau kita berada di lingkungan yang mayoritasnya tak beriman sama seperti kita, yang tak mengenal dan tak memahami apa makna di balik kotornya dahi tersebut. Tapi justru inilah nilai rohani dari penerimaan abu, yakni bahwa kita secara terbuka dan dengan amat rendah hati berdiri di hadapan sesama dan berkata bahwa kita bukanlah manusia yang bersih. Kita adalah kaum pendosa. Kita butuh sesuatu yang melampaui kekuatan manusiawi kita, yakni kekuatan rahmat Allah untuk membebaskan kita dari keadaan kita saat ini, yakni membebaskan kita dari dosa-dosa kita.

Satu hal menarik saat kita menerima abu. Karena abu diurapi di dahi kita, maka amatlah mustahil bahwa kita bisa melihat secara langsung betapa kotoranya dahi kita. Kita hanya bisa melihatnya lewat cermin setelah kita kembali ke rumah. Namun kita bisa dengan amat mudah melihat kotornya dahi orang lain. Di sini orang lain seakan berdiri di depan kita dan menjadi cermin tempat kita melihat diri kita masing-masing. Dalam hidup nyata kitapun dapat dengan mudah melihat kekurangan, kelemahan serta keburukan orang lain. Kita sulit melihat dengan jelas kelemahan diri sendiri. Orang lain selalu salah sementara aku selalu berada di pihak yang benar. Namun di hari Rabu abu sesamaku adalah gambaran diriku. Sesamaku adalah cermin diriku. Aku melihat diriku yang penuh kelemahan melalui orang lain yang kini berada di depanku. Tak ada yang bisa kita katakan di saat itu kecuali bersama-sama berdiri di hadapan Tuhan dan mengakui bahwa kita adalah manusia lemah, manusia yang sering jatuh. Kita adalah manusia yang bersama-sama membutuhkan rahmat istimewa dari Tuhan agar bisa bangun lagi dan menjadi layak lagi disebut anak-anak pilihanNya.

Selamat memasuki masa puasa dan lebih lagi mari kita mulai bertobat.

Tarsis Sigho - Taipei
Email: sighotarsi@yahoo.com

Mohon hubungi pembuat serta Pondok Renungan (kontak@pondokrenungan.com),
jika anda ingin menyebarkan karya ini.


1001 Burung Kertas


Reo dan July adalah sepasang kekasih yang serasi walaupun keduanya berasal dari keluarga yang jauh berbeda latar belakangnya. Keluarga July berasal dari keluarga kaya raya dan serba berkecukupan, sedangkan keluarga Reo hanyalah keluarga seorang petani miskin yang menggantungkan kehidupannya pada tanah sewaan.

Dalam kehidupan mereka berdua, Reo sangat mencintai July. Reo telah melipat 1000 buah burung kertas untuk July dan July kemudian menggantungkan burung-burung kertas tersebut pada kamarnya. Dalam tiap burung kertas tersebut Reo telah menuliskan harapannya kepada July. Banyak sekali harapan yang telah Reo ungkapkan kepada July. “Semoga kita selalu saling mengasihi satu sama lain”,”Semoga Tuhan melindungi July dari bahaya”,”Semoga kita mendapatkan kehidupan yang bahagia”,dsb. Semua harapan itu telah disimbolkan dalam burung kertas yang diberikan kepada July.

Suatu hari Reo melipat burung kertasnya yang ke 1001. Burung itu dilipat dengan kertas transparan sehingga kelihatan sangat berbeda dengan burung-burung kertas yang lain. Ketika memberikan burung kertas ini, Reo berkata kepada July: “ July, ini burung kertasku yang ke 1001. Dalam burung kertas ini aku mengharapkan adanya kejujuran dan keterbukaan antara aku dan kamu. Aku akan segera melamarmu dan kita akan segera menikah. Semoga kita dapat mencintai sampai kita menjadi kakek nenek dan sampai Tuhan memanggil kita berdua ! “

Saat mendengar Reo berkata demikian, menangislah July. Ia berkata kepada Reo : “ Reo, senang sekali aku mendengar semua itu, tetapi aku sekarang telah memutuskan untuk tidak menikah denganmu karena aku butuh uang dan kekayaan seperti kata orang tuaku!” Saat mendengar itu Reo pun bak disambar geledek. Ia kemudian mulai marah kepada July. Ia mengatai July matre, orang tak berperasaan, kejam, dan sebagainya. Akhirnya Reo meninggalkan July menangis seorang diri.

Reo mulai terbakar semangatnya. Ia pun bertekad dalam dirinya bahwa ia harus sukses dan hidup berhasil. Sikap July dijadikannya cambuk untuk maju dan maju. Dalam Sebulan usaha Reo menunjukkan hasilnya. Ia diangkat menjadi kepala cabang di mana ia bekerja dan dalam setahun ia telah diangkat menjadi manajer sebuah perusahaan yang bonafide dan tak lama kemudian ia mempunyai 50% saham dari perusahaan itu. Sekarang tak seorangpun tak kenal Reo, ia adalah bintang kesuksesan.

Suatu hari Reo pun berkeliling kota dengan mobil barunya. Tiba-tiba dilihatnya sepasang suami-istri tua tengah berjalan di dalam derasnya hujan. Suami istri itu kelihatan lusuh dan tidak terawat. Reo pun penasaran dan mendekati suami istri itu dengan mobilnya dan ia mendapati bahwa suami istri itu adalah orang tua July. Reo mulai berpikir untuk memberi pelajaran kepada kedua orang itu, tetapi hati nuraninya melarangnya sangat kuat. Reo membatalkan niatnya dan ia membuntuti kemana perginya orang tua July.

Reo sangat terkejut ketika didapati orang tua July memasuki sebuah makam yang dipenuhi dengan burung kertas. Ia pun semakin terkejut ketika ia mendapati foto July dalam makam itu. Reo pun bergegas turun dari mobilnya dan berlari ke arah makam July untuk menemui orang tua July.

Orang tua July pun berkata kepada Reo :”Reo, sekarang kami jatuh miskin. Harta kami habis untuk biaya pengobatan July yang terkena kanker rahim ganas. July menitipkan sebuah surat kepada kami untuk diberikan kepadamu jika kami bertemu denganmu.” Orang tua July menyerahkan sepucuk surat kumal kepada Reo.
Reo membaca surat itu. “Reo, maafkan aku. Aku terpaksa membohongimu. Aku terkena kanker rahim ganas yang tak mungkin disembuhkan. Aku tak mungkin mengatakan hal ini saat itu, karena jika itu aku lakukan, aku akan membuatmu jatuh dalam kehidupan sentimentil yang penuh keputusasaan yang akan membawa hidupmu pada kehancuran. Aku tahu semua tabiatmu Reo, karena itu aku lakukan ini. Aku mencintaimu Reo................................

July “ Setelah membaca surat itu, menangislah Reo. Ia telah berprasangka terhadap July begitu kejamnya. Ia pun mulai merasakan betapa hati July teriris-iris ketika ia mencemoohnya, mengatainya matre, kejam dan tak berperasaan. Ia merasakan betapa July kesepian seorang diri dalam kesakitannya hingga maut menjemputnya, betapa July mengharapkan kehadirannya di saat-saat penuh penderitaan itu. Tetapi ia lebih memilih untuk menganggap July sebagai orang matre tak berperasan.July telah berkorban untuknya agar ia tidak jatuh dalam keputusasaan dan kehancuran.

Cinta bukanlah sebuah pelukan atau ciuman tetapi cinta adalah pengorbanan untuk orang yang sangat berarti bagi kita

Diceritakan ulang oleh

Thomas KMK St Petrus
Email: my_real_heart@yahoo.com

Mohon hubungi pembuat serta Pondok Renungan (kontak@pondokrenungan.com),
jika anda ingin menyebarkan karya ini.


Kapankah Aku Mau Belajar Mendengarkan?


Sepanjang hari itu aktivitasku di kantor sangat padat dan menguras pikiranku. Hal ini membuatku sangat lega ketika mendapatkan sebuah taksi yang cukup bagus untuk kutumpangi dalam perjalanan pulang ke rumah. Paling tidak, kenyamananku dalam perjalanan, akan banyak membantuku menjernihkan pikiranku. Sapaan sopir taksi pun hanya kujawab dengan singkat. Kupikir dengan begitu dia akan tahu bahwa aku tidak ingin berbicara selama dalam perjalanan. Maka setelah kusebutkan tujuanku, aku pun mulai berdiam diri. Tapi sopir taksi itu ternyata masih berbicara. Dia mengajakku bicara tentang kekalahan Presiden Megawati dalam pilpres yang baru lalu. Juga tentang SBY, caleg-caleg, juga situasi politik ketika Megawati masih menjabat. Aku hanya menghela nafas saja dan berusaha mendengarkan pembicaraannya itu. Sesekali saja dia meminta pendapatku, tapi begitu pendapatku bertentangan dengan pendapatnya, dia langsung mendebatku. Akhirnya aku hanya diam, sambil sesekali menganggukkan kepala tanda persetujuan, kalau dia menoleh ke belakang untuk meminta persetujuanku. Ini sebuah monolog, kataku dalam hati. Dia sama sekali tidak peduli dengan keinginanku untuk mendapatkan ketenangan selama dalam perjalanan. Aku juga heran dengan energinya yang begitu besar untuk berbicara terus sepanjang perjalanan. Energinya itu cukup membuat kepalaku tambah pusing. Dan ketika kesabaranku sudah hampir habis, aku bermaksud untuk memintanya berhenti bicara sebentar saja. Tapi entah kenapa, tiba-tiba aku merasa geli sendiri.

Kupikir saat ini Tuhan sedang ‘menghukumku’. Seringkali dalam hidupku, aku juga sibuk berbicara seperti sopir taksi itu. Berbicara mengenai apa saja pada orang yang mungkin tidak menyukai pembicaraan itu. Dan aku tidak peduli dengan itu. Karena yang ada di pikiranku adalah bagaimana aku menjadi sentral dalam pembicaraan. Monolog. Tidak habis-habisnya bahan tentang diriku atau yang berhubungan dengan diriku kubicarakan. Tapi apakah aku juga peduli pada lawan bicaraku bahwa sesungguhnya dia juga ingin berbicara seperti aku, entah cuma untuk menyampaikan pendapatnya atau sekedar berkeluh kesah juga tentang dirinya juga.

Tuhan juga sedang menjewerku saat ini. Manakala keegoisanku mengalahkan hasratku untuk mendengarkan orang lain. Ternyata mendengarkan itu juga suatu hal yang sangat sulit, karena sungguh membutuhkan kejernihan dan kerendahan hati.

Aku jadi malu juga pada Tuhan, karena dalam doaku aku juga sering terlalu banyak bicara. Kusampaikan berbagai macam intensi doaku dan berharap Tuhan mau mengabulkannya. Ketika Tuhan sepertinya menggelengkan kepala, aku buru-buru meyakinkanNya bahwa permintaanku itu sungguh yang terbaik buatku saat ini. Mungkin Tuhan menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuanku. Ketika asyik berbicara dalam doa itulah, aku jadi lupa bahwa doa sesungguhnya adalah sebuah percakapan yang penuh persahabatan dengan Tuhan. Apa jadinya sebuah persahabatan ketika tidak ada lagi percakapan, tetapi hanya sebuah monolog?

Pernahkah aku mencoba mendengarkan suara Tuhan dalam doaku? Pernahkah aku berdiam diri sejenak dan mempersembahkan waktuku buatNya hanya untuk mendengarkan bisikan lembutNya yang penuh kasih sayang? Rasanya jarang sekali. Pikiran dan hatiku kadang terlalu sibuk untuk berkata-kata dan bukan mencari kehendak Tuhan. Betapa sulitnya berdiam diri dalam keheningan. Padahal ketika keheningan itu menyatukan kita dengan Tuhan, semuanya tidak akan sia-sia.

Aku memandang sopir taksi itu dengan rasa haru. Dia sudah memberiku pelajaran berharga yang mungkin terlewat selama ini. Aku kasihan juga padanya, karena aku yakin selama ini dia tidak pernah merasakan keheningan yang damai dalam hidupnya. Atau mungkin juga dia tidak pernah diberi kesempatan untuk berbicara oleh orang-orang di sekitarnya, sehingga hanya pada penumpangnya dia bisa menyalurkan keinginannya untuk berbicara.

Taksi itu mulai mendekati rumahku. Tepat pada saat sopir taksi itu bercerita bahwa istrinya ingin bercerai. Aku hanya tersenyum saja. Dia juga tersenyum dan mengucap terima kasih ketika kuberikan uang sedikit lebih dari ongkos yang seharusnya. Terima kasih, katanya. Kuanggukkan kepalaku. Akulah yang harus berterima kasih padanya, karena perjalanan malam itu mengingatkanku untuk mulai belajar mendengarkan orang lain, terutama mendengarkan suara Tuhan.
Dotty
9 Oktober 2004

Dotty
Email: dotty.dewayani@ibsrisk.com

Mohon hubungi pembuat serta Pondok Renungan (kontak@pondokrenungan.com),
jika anda ingin menyebarkan karya ini.


Nabi Yang Rela Dikambinghitamkan


Renungan Minggu Biasa XIV, 7 Juli 2002
Yeh 2:2-5; 2 Kor:7-10; Markus 6:1-6

Saudara-saudariku yang terkasih,

Di Candi Borobudur, di relief tingkat tiga ke bawah, ada sebuah kisah yang menarik. Inti kisahnya itu demikian, “Ada seorang pendeta yang sedang bertapa dan tinggal di tengah hutan selama 40 hari. Pendeta itu setiap hari makan dan minum dari kekayaan hutan itu. Suatu saat datanglah binatang-binatang hutan: singa, kera dan kelinci, kepada Pendeta untuk mempersembahkan hasil buruannya kepada pendeta itu. Singa sang Raja hutan datang dengan membawa rusa, hasil buruannya. Daging rusa terkenal enak rasanya di antara daging binatang buruan lainnya. Kera pun tak ketinggalan, ia membawa setundun pisang. Akhirnya, kelinci datang kepada pendeta. Kelinci mengatakan begini, “Bapak pendeta, saya tidak memiliki apapun, rumput pun aku kalau bisa hanya bawa sedikit. Bukankah Bapak Pendeta tidak makan rumput? Untuk mengungkapkan rasa cinta saya kepada Bapak Pendeta, saya menyerahkan diriku untuk jadi santapan Bapak pendeta. Sembelihlah diriku.” Bapak Pendeta tak tahan menahan haru, “Kelinciku, betapa besar cinta yang kauberikan kepadaku. Aku tidak akan menyembelihmu. Aku tidak akan marah atau membencimu. Aku mengerti kelemahanmu, dan ketidakberdayaanmu. Mari kita makan bersama persembahan singa dan kera ini”

Saudara-saudara terkasih,

Kisah tadi menggambarkan “keberanian kelinci untuk menjadi korban persembahan”. Sulit bagi kita sekarang ini berbicara tentang kepemimpinan yang mau “mengalami korban ketidakadilan, korban fitnah, korban gosip, korban yang dimaki-maki, disalahkan sana-sini.” Gaya hidup kepemimpinan dunia itu bergerak “naik”: menggunakan segala macam cara (senjata, suap, membuat kebijakan yang mencelakakan orang kecil, dsb) untuk mewujudkan kekuasaannya dan dapat mengeruk kekayaan sebanyak mungkin, mau selalu populer karena proyek yang dipimpin sebagai monumen-monumen pribadi, “Wah, dulu gereja ini yang saya yang membangun; merasa paling berguna dan berjasa, “Coba, kalau tidak ada saya, mana mungkin jadi begini!!”. Kualitas pemimpin diukur secara fisik: ada bangunan, dapat mengubah Pemimpin kristiani menurut penilaian dunia itu dituntut prestasi yang nyata dan konkret alias relevan dengan hidup umatnya. Cara kerjanya juga dituntut efisien dan efektif.

Jalan pikir kepemimpinan dunia itu berkebalikan dengan kepemimpinan kristiani dalam terang Injil. Kenabian kristiani, seperti Yesus, justru kenabian yang berani ditolak, dicurigai, diremehkan oleh keluarganya sendiri dan umat dari tempat Yesus berasal. Itulah yang dialaminya.

Naum kendati Yesus memiliki sikap dan tindakan yang baik toh ditolak. Apalagi seperti diriku. Tidak mudah untuk menjadi nabi yang ketahuan belangnya. Andaikan umat mengetahui belang-belang hitam putihnya hidupku, masihkah ada umat yang mendengarkan atau membaca renungan ini? Barangkali komentar yang akan keluar adalah “Omong kosong!! Perbuatannya sendiri saja tidak mencerminkan perkataannya, kok umatnya justru dituntut begitu. “JARKONI !!”

Di balik penolakan oleh umat sendiri, sebenarnya terkandung rahmat kepemimpinan yang membebaskan. Semakin kita mewartakan Injil dalam kondisi yang ditolak, semakin nyatalah bahwa pewartaan itu tidak pernah boleh “mengharuskan” melainkan menjadi “peta” atau wawasan agar pendengarnya mampu menentukan pilihan hidupnya. Seorang nabi yang mewartakan dalam kebebasan, selalu siap untuk tidak didengarkan, dicuekin atau ditolak dan dicemooh sebagai omongan “anak baru kemarin sore”.

Agar dapat menjadi pewarta yang siap ditolak, tidak lain kita mesti bangga akan kelemahan diri kita, sebagaimana telah dicontohkan oleh Paulus dalam suratnya kepada Jemaat di Korintus. Orang yang sadar bahwa dirinya rapuh, pasti tidak akan berbicara dalam level “keharusan” melainkan level “memilih”. Dalam pemimpin itu ada disposisi untuk bersikap rendah hati: rela kehilangan harga diri, rela tidak diperhatikan, dianggap “bakul jamu”. Paulus tidak takut ditolak, karena dalam kelemahan, ia yakin kasih karunia Allah justru akan berlimpah”.

Itulah gaya hidup Yesus juga, menjadi “guru”, pemimpin, dan raja orang Yahudi, yang “serba rapuh”. Kendati Dia telah mewartakan kerajaan Allah dalam kata (pengajaran) dan perbuatan (menyembuhkan orang sakit buta, lumpuh, ayan, membangkitkan orang mati, mengusir roh jahat, mukjijat2), toh nyatanya Ia tetap ditolak dan akhirnya dibunuh oleh bangsa-Nya sendiri, dengan tuduhan menghojat Allah!! Hebat!! Yesus tidak membela diri untuk memperjuangkan haknya, melainkan membiarkan diri diperlakukan tidak adil. Itulah kepemimpinan kristiani: siap untuk jadi “korban” alias “kambing hitam” untuk menutupi kesalahan orang lain. Yesus tidak menunggu datangnya nasib atau takdir, melainkan memilih menjadi “kambing hitam”, dalam disposisi “jalan salib” sebagai jalan yang harus dilalui oleh seorang pemimpin. Karena itu Ia bagaikan “kelinci” tadi yang memilih menjadi “korban sembelihan”.

Siapakah kita? Apakah kita akan menjadi “kelinci” yang siap berbuat baik tetapi sekaligus mau berkorban, atau lebih siap untuk “mengkambinghitamkan orang lain” agar kesalahanku ditutupi??

Blasius Slamet Lasmunadi, Pr.
Email: slametblas@telkom.net

Mohon hubungi pembuat serta Pondok Renungan (kontak@pondokrenungan.com),
jika anda ingin menyebarkan karya ini.


Berapa Jiwa yang telah kubantu?


Dalam suatu perjalanan di sebuah pedalaman. Jalanan melintasi deretan gunungdan bukit, serta melewati lembah-lembah terjal yang nampaknya amat berbahaya. Bus yang merayap pelan di jalan berbatuan itu berisi penuh penumpang yang kebanyakan tertidur karena keletihan. Seorang Pastor duduk di dekat jendela sambil membaca buku bawaannya. Kini tibalah bus itu di sebuah pembelokan tajam. Bus yang malang tersebut terpeleset meninggalkan jalan bebatuan itu, dan secara bebas berguling di lereng bukit. Sang pastor dengan cepat membuka jendela dan dengan gerakan refleks membantu seorang ibu yang duduk di sampingnya. Ibu itu sedang tertidur sambil menggendong seorang bayi. Sang ibu beserta anaknya kini selamat, namun sang pastor kedapatan hancur bagian kepalanya.

Di kota Taipei beberapa tahun yang lalu. Sebuah sekolah taman kanak-kanak mengadakan tour dalam kota. Setelah semuanya berakhir dengan penuh riang gembira para malaekat kecil itu kembali ke sekolah. Namun dalam perjalanan pulang tersebut bus TK yang mereka tumpangi terbakar. Sang ibu guru dengan penuh keberanian menerobos amukan api dan membantu anak muridnya. Ketika semua sudah dalam keadaan selamat mobil tersebut meledak dan sang ibu guru tak mampu berlari lagi. Ia tersiram bahan ledakan dan meninggal seketika dimakan api.

Dari Mindoro di Philipina datang sebuah kisah yang hampir serupa. Sekelompok frater dan sejumlah imam ingin rekreasi bersama di saat liburan. Ketika sedang menikmati hangatnya dan jernihnya air sungai, tiba-tiba mereka dilanda banjir yang datang tanpa mereka ketahui. Seorang frater menjadi korban dalam kesempatan tersebut. Para saksi mata menyatakan bahwa ia diseret banjir setelah ia berhasil menyelamatkan teman terakhir dari tengah kali tersebut. Ia diseret banjir dan dihempaskan ke atas sebuah batu hingga menghembuskan nafasnya seketika.

Ini cuman tiga dari banyak contoh dari mereka yang secara gagah perkasa membantu menyelamatkan orang lain. Aku yakin anda masih memiliki sederet nama untuk disebutkan. Sang pastor, sang ibu guru TK dan teman frater tersebut di atas telah menyerahkan diri bahkan nyawa mereka demi orang lain.

Seorang teman pastor mengatakan bahwa ketika ia melamar masuk seminari saat masih di bangku SD dulu, ia ditanya apa alasannya ia menjadi imam. Dengan lugu ia menjawab bahwa ia ingin melayani Tuhan dan menyelamatkan nyawa manusia. Di kemudian hari iapun tahu kalau teman-teman kelasnya yang lain juga memberikan jawaban yang hampir serupa. Kini ketika ia telah menjadi imam kurang lebih dua puluh tahun ia bertanya diri; “Adakah saya sebagai imam telah menyelamatkan jiwa manusia?? Berapa jiwa yang telah aku Bantu??”

Aku sering kali mengagumi Martin Luther King dan semua orang lain yang telah menyerahkan diri dan nyawa untuk menyelamatkan orang lain. Namun pernahkah saya juga berkorban lewat cara yang mungkin amat sederhana demi orang lain, terutama mereka yang kecil dan menderita? Yesus telah meninggalkan kebesaranNya dan datang sebagai manusia lemah untuk menyelamatkan kita. Ia sudah selayaknya menjadi contoh dan teladan kita yang paling sempurna untuk juga berbelas kasih kepada orang lain. Mari kita mulai terutama di masa Advent ini.

Tarsis Sigho - Taipei
Email: sighotarsi@yahoo.com

Mohon hubungi pembuat serta Pondok Renungan (kontak@pondokrenungan.com),
jika anda ingin menyebarkan karya ini.


Cinta


Pagi itu aku bawa ke dokter anakku yang kedua, Kenny namanya. Ternyata dia kena gondong, penyakit yang disebabkan oleh virus sehingga harus diisolasi. Yang membuat aku bingung, bagaimana memisahkan Kenny dengan saudara-saudaranya ? Karena setiap harinya mereka selalu bermain dan bercanda bersama. Sekarang Kenny harus tinggal di kamarnya, tidak boleh keluar untuk mencegah penularan ke semua penghuni rumah terutama ke kakak dan adiknya.

Kamar Kenny sebetulnya sudah nyaman. Ada AC, TV, stereo set dan VCD player. Karena hobbynya menggambar, aku siapkan juga buku gambar, pensil warna dan crayon. Tapi ternyata itu tidak menjamin Kenny betah di kamarnya. Dia masih suka mencuri-curi keluar dari kamar untuk mendekati adik dan kakaknya. Akhirnya aku belikan mainan yang bisa membuatnya betah di kamar. Mainan yang merangsang kreatifitasnya, sehingga dia bisa asyik main sendiri di kamar.

Aku begitu cemas sehingga sering mengingatkan Kenny untuk jangan keluar kamar karena nanti kakak dan adiknya akan tertular. Bahkan mungkin saja aku bisa tertular karena seingatku waktu kecil aku juga belum pernah kena. Aku sibuk dengan kecemasanku sendiri sehingga tidak memikirkan perasaan Kenny. Sampai suatu hari sepulang kantor, aku lihat Kenny ada di luar kamar. Aku langsung menyuruhnya untuk masuk kamar. Tapi Kenny menawar untuk tetap di luar kamar dengan jarak yang cukup jauh dari saudara-saudaranya. Aku tetap memaksanya untuk masuk kamar. Sampai kemudian dia memandangku dan berkata dengan suara pelan, bolehkah aku memeluk Mama ? Saat itulah hatiku tersentak. Aku pandang Kenny dan aku langsung memeluk serta menciumnya. Dalam hatiku yang terdalam, aku minta maaf karena harus ‘menyingkirkannya’ untuk sementara dari kehidupan normal, demi kebaikan saudara-saudaranya. Aku harus mengisolasi cintanya kepada saudara-saudaranya, yang dia kasihi setiap saat. Aku tahu bahwa Kenny sebetulnya bisa memahami tindakanku, karena dengan kelembutan hatinya, dia pun bertanya pada papanya yang menemaninya di kamar, apa Papa tidak takut ketularan aku ?

Betapa Kenny dengan kepolosan kanak-kanaknya sudah harus belajar, bahwa mencintai itu berarti harus rela berkorban, menderita, disingkirkan bahkan rela melakukan segala sesuatu demi kebaikan orang yang dicintai. Menyakitkan memang.

Seperti Yesus. Rela disalibkan untuk menebus dosa manusia yang begitu Dia cintai. Apakah setelah itu manusia tidak ada yang berbuat dosa lagi ? Apakah setelah itu manusia membalas cintaNya ? Tidak ! Ternyata manusia tetap saja berbuat dosa. Tetap saja manusia sering mengingkari Yesus untuk mendapatkan kesenangan duniawi. Apakah Yesus menangis melihat tingkah manusia ? Apakah Yesus menyesal karena sudah berkorban untuk kita ? Aku yakin Yesus tidak menyesal karena cintaNya pada kita, manusia, begitu besarnya.

Bahkan cintaNya begitu penuh pengampunan, sungguh di luar akal manusia.

Seperti apakah bentuk cinta kita ?

Jujur, aku sendiri kadang masih menimbang untung ruginya kalau mau berkorban. Ilmu ekonomi mulai kukeluarkan. Aku mencintaimu berarti aku juga harus mendapatkan cinta yang sama besar darimu. Aku berkorban untukmu, sebesar apakah pengorbananmu untukku ? Apakah sama besar atau aku masih rugi ? Apa untungnya kalau aku melakukan tindakan itu ? Apakah aku mendapat penghargaan dari orang di sekitarku ? Atau justru cacian dan cibiran ?
Kalau dengan orang yang aku cintai pun aku masih berhitung, bagaimana aku tidak berhitung dengan orang yang tidak aku kenal ?

Tentu saja sebagai seorang ibu, aku akan rela berkorban untuk anak-anakku. Bahkan aku ingin penyakit Kenny dipindahkan ke diriku, seandainya bisa. Tapi apakah aku sanggup berkorban untuk suamiku ? Untuk sahabat-sahabatku ? Untuk orang tua dan saudara-saudaraku ? Ahh..pelajaran yang Tuhan Yesus berikan sepertinya terlalu berat untukku. Jangankan mengasihi musuhku, berkorban untuk orang yang aku cintai pun kadang masih pikir-pikir.

Daya nalarku sebagai manusia sungguh terbatas. Hanya rahmat Tuhan yang bisa menepiskan segala batas kemustahilan. Tak henti-hentinya aku mengharap kasihNya supaya aku dapat meneladan Yesus. CintaNya yang tidak masuk di akal manusia, sungguh indah. Semoga Tuhan membuatku mampu berkorban demi cintaku pada keluarga, sesama, orang lain bahkan pada musuhku sekali pun.

Endah Dewayani
Email: EndahD@ing.co.id

Mohon hubungi pembuat serta Pondok Renungan (kontak@pondokrenungan.com),
jika anda ingin menyebarkan karya ini.

Kembali Ke Index Renungan


Satu Kalimat Yang Menyelamatkan


Kebetulan saya harus menuju pedalaman, harus melintasi daerah pegunungan dan juga melampaui dasar lembah. Suatu perjalanan yang pasti melelahkan dan memakan waktu. Di stasiun aku menunggu bus ke tempat tujuanku. Tak banyak penumpang saat itu. Bus yang dinantikan tiba dan kami bergegas menaiki tangga bus tersebut. Namun baru saja saya aku menempati tempat dudukku, terdengar suara lengking sang sopir memuntahkan kekecewaannya dan kemarahan yang bercokol dalam hatinya. “Huh...sakit gigi seperti hendak mati...!!! Minta izin untuk istirahat hari ini juga tak diberikan. Dasar manusia tak punya hati...!!” Demikian sang sopir berkeluh kesah langsung menghidupkan mesin kendaraan dan mulailah bus tersebut merayapi jalan raya.

Kata-katanya itu menjadikan situasi dalam bus itu menjadi begitu muram. Tak ada seorangpun berani membuka mulut karena takut mengundang kemarahan lanjt sang sopir. Masing-masing sengaja membuang muka memandang pemandangan lewat kaca jendela, walau dalam hati ada sejuta rasa takut. Dan karena sang sopir diliputi emosi yang tak terkendali, maka bus yang dikemudinya meluncur dengan kecepatan yang amat tinggi. Sebentar membanting ke kiri, sebentar membanting ke kanan. Terkadang bus tersebut meloncat tinggi. Kini bus memasuki daerah pegunungan. Jalanan sungguh amat berbahaya dengan pembelokan-pembelokan yang tajam. Namun sang sopir tetap saja dengan kecepatannya yang tinggi. Para penumpang hanya bisa memegang kuat tempat duduk dan menjaga agar kepala tak terbentur dinding bus. Sang sopir seakan tak mempedulikan bahwa dalam bus tersebut ada beberapa jiwa yang sedang ketakutan.

Tiba-tiba seorang ibu tua menekan bel dan ingin turun. Bus berhenti. Sang ibu dengan tertatih menuruni tangga bus tersebut. Namun di dekat pintu, ia masih bersabar sebentar dan melihat sang sopir, lalu berkata; “Pak Sopir..., terima kasih banyak. Sungguh tak mudah, walaupun sakit gigi namun demi sebuah pelayanan engkau berani berkorban. Terima kasih berlimpah.” Kelihatan jelas bahwa sang sopir sungguh merasa malu. Mengapa tidak?? Sepanjang perjalanan ia menjadikan mereka sebagai barang tak bernyawa, namun kini sang nenek itu justru membalasnya dengan sikap berterima kasih.

Setelah peristiwa itu, sang sopir mulai berubah sikap. Ia tidak lagi mengemudi bis tersebut dengan kecepatan yang tinggi. Ia mulai memperhatikan para penumpang dalam bus tersebut. Ketika ada penumpang yang hendak turun, ia mulai menasihatkan agar berhati-hati karena ada mobil yang datang dari belakang. Pokonya sikapnya kini berubah seratus delapan puluh derajat. Tentu saja para penumpang kini menjadi lega. Sebelumnya semua pada ketakutan karena nampak sekali beberapa kali hampir saja terjadi kecelakaan. Apa lagi hujan rintik yang membuat jalanan licin. Kalau terus seperti itu, mungkin kecelakaan bisa saja terjadi. Syukur kepada Allah.

Namun dalam hati setiap penumpang hanya ada satu orang yang harus disyukuri. Yakni sang nenek tersebut. Kata-kata sang neneklah yang telah mengubah sang sopir. Kata-kata sang nenek bagaikan seorang Mesias yang menyelamatkan, Mesia yang membawa kedamaian ke dalam hati para penumpang bis tersebut. Ya...ternyata hanya dengan satu kalimat kita bisa mengubah sebuah sejarah. Apakah kata-kataku juga bagaikan Mesias yang sedang diharapkan orang lain? Ataukah kata-kataku bagaikan racun yang mematikan walau belum kuucapkan?? Semoga dari mulutku keluar kata yang menguatkan, kata yang menghidupkan, kata yang memberikan semangat hidup baru. Amin!!

Tarsis Sigho - Taipei
Email: sighotarsi@yahoo.com

Mohon hubungi pembuat serta Pondok Renungan (kontak@pondokrenungan.com),
jika anda ingin menyebarkan karya ini.


Terharu


Petang ini, 19 Mei 2002, aku menyaksikan pertandingan final Bulutangkis memperebutkan piala Thomas antara Indonesia dan Malaysia, suatu pertandingan yang menegangkan dan mengasyikan, semua pemain bermain dengan segala tenaga yang mereka punyai, yang akhirnya bangsa Indonesia memenangkan kembali piala tersebut dan membuat sejarah tersendiri dengan memenangkannya 5 kali berturut-turut.
Dalam pertandingan itu terdiri 5 partai, dimana kedudukan menjadi berimbang pada posisi 2-2 dan tibalah partai penentuan yang dimainkan oleh tunggal ketiga Indonesia yakni Hendrawan.
Sungguh suatu partai yang tegang, tapi penampilannya begitu baik dan menguasai pertandingan, dan dia bisa dibilang sebagai seorang pahlawan dalam partai final itu, ia bermain dengan bagus, dan mungkin tidak banyak yang mengetahui bahwa ia pun sedang mengalami kasus kewarganegaraannya.

Aku terharu sekali dengan pernyataannya setelah pertandingan itu, banyak orang menganggapnya sebagai seorang pahlawan, bahkan banyak penonton di stadion itu pun mengelukannya, begitu dia memegang piala itu semua penonton bersorak lebih keras, karena mereka kagum, mereka tahu bahwa ia adalah seorang pahlawan. Tapi pernyataannya sewaktu diwawancarai, ia berkata 'aku bukan seorang pahlawan, kita adalah satu tim, dan semua adalah perjuangan tim, tanpa dukungan rakyat Indonesia dan teman-teman seperjuangan, aku tidak bisa berbuat ini'.
Dan juga ditanya kesannya, ia berkata bahwa 'Ia berterima kasih kepada Ibu presiden, bu Mega, karena beliau telah menolong menyelesaikan kasus kewarganegaraannya, sesaat sebelum dia mengemban tugas membawa dan mengharumkan nama negara. Aku telah membuktikan aku bisa, aku bisa memberikan sesuatu yang dipercayakan kepadaku'…
Aku begitu terharu dengan dia, karena ia yang pernah mengikuti pertandingan sebelum ini di tahun 2000 pun telah menjadi pahlawan di partai yang menentukan pula, ia telah menunjukkan dan berjuang demi negaranya. Tapi tanpa kita ketahui ternyata perjuangan yang ia berikan dengan segenap tenaganya itu tidak mendapat perhatian dari bangsa yang dibelanya. Ia memang seorang penduduk Indonesia, dan ia ingin mendapatkan warga negara Indonesia, suatu hal yang sungguh aneh kedengarannya, ternyata orang yang mengharumkan nama bangsanya ternyata belum menjadi warga negara. Dan 'perjuangan' memperoleh identitas diri sebagai warga negara pun kabarnya dipersulit, padahal ia telah melakukan perjuangan yang besar sekali, di pundaknya-lah nama bangsa Indonesia ini diharumkan ke seluruh pelosok dunia.

Aku belajar sesuatu dari beliau, ia tidak menyerah, dia tidak mempermasalahkannya, dia tidak membenci bangsa ini, padahal mungkin saja banyak tawaran dari bangsa lain dimana banyak rekannya yang berjuang untuk negara lain, tapi dia tetap di negara yang ia cintai. serta ia tetap rendah hati dan tetap bersyukur.

Ia telah menjadi juara dunia, menjadi 'pahlawan tim' tapi ia tidak menggunakan hal itu untuk memperoleh warga negaranya, bisa saja dia berhenti bermain, bisa saja dia tidak mati-matian membelanya, bisa saja dia menyombongkan diri dan menggunakan status itu untuk mempermudah mendapatkan status itu, tapi ia tidak lakukan, ia tidak melakukan hal-hal yang merugikan bangsa ini, ia tidak menjelekkan, tapi malah sebaliknya, dia tetap menunjukkan betapa ia cinta bangsa ini.
Mungkin kita sendiri sering mengeluh, malas-malasan, ingin mengharapkan suatu imbalan yang besar dari pekerjaan yang aku lakukan dan juga jika sudah sukses seakan bisa menggunaknnya untuk kepentingan lainnnya…

Ternyata, apa yang kulihat dalam dirinya adalah suatu pelajaran bagiku, ia telah ditolong oleh ibu presiden dan dia buktikan dalam pertandingan itu, apa yang telah diberikannya, dia perjuangkan dan dia buktikan, dia persembahkan, walaupun sebelumnya pun dia telah mempersembahkan apa yang terbaik dari dirinya untuk negara dan sesamanya.
Dan ia pun melakukan persiapan yang sungguh-sungguh, dia berjuang 2 bulan agar ia bisa masuk tim ini, sebelumnya pun ia ragu untuk masuk tim karena kondisi akhir-akhir ini tapi tim tetap memilihnya dan mempercayainya. Dengan tekad dan perjuangannya untuk bisa menyumbangkan sesuatu yang telah dipercayakn kepada dirinya telah ditunjukkannya, ia berlatih untuk mewujudkan hal itu dan ia membayarnya dengan piala itu.

Kita pun telah diberikan talenta yang berbeda-beda tapi kadang kita lupa akan hal ini, kita pribadi-pribadi yang bisa mengharumkan nama pencipta kita, kita bisa menunjukkan kepada siapa saja, bagaimana Dia membekali kita dalam hidup ini, dengan talenta yang berbeda, kita tunjukkan jati diri kita, kita berlaku dengan baik sehingga namaNya harum selalu. Dalam menuntut ilmu, pekerjaan, pergaulan,, serta kehidupan berkeluarga dan berbangsa , kita tunjukkan semangat dan kasihNya. Sehingga orang lain bisa melihat melalui kita bahwa Dia adalah Kasih.
Perjuangan yang dilakukan kadang tidak dihargai, tapi kita tiru teladan Hendrawan, kita tetap berjuang memang seorang nabi tidak dihargai ditempat asalnya, perkataanNya memang menjadi kenyataan, tapi Sang Guru pun tetap rela berkorban sampai mati demi kecintaanNya kepada kita.
Kita kadang lelah, merasa tidak diperhatikan, tapi kita bisa melihat bagaimana Allah memberikan contoh dan memuliakan Yesus, karena Ia tetap setia dan taat sampai mati, Ia tetap memuliakan BapaNya.

Terima kasih Hendrawan atas teladan yang kau berikan, dan juga terima kasih tim Thomas Cup Indonesia atas perjuangan kalian, selamat dan terus berjuang….

vids - Pondok Renungan