Kamis, 07 Juni 2012

LANDORUNDUN


            Landorundun adalah seorang gadis yang cantik, molek dan panjang rambutnya. Ayahnya bernama Solokang dari Rongkong dan ibunya bernama Lambe’ Susu dari Sesean. Pada suatu hari Landorundun pergi mandi di sungai. Sehabis mandi ia lalu bersisir dan tercabut sehelai. Rambut itu lalu digulungnya pada sebuah sisir yang terbuat dari emas. Gulungan rambut ini diletakkan di atas batu, lalu tiba-tiba angin putting beliung datang meniupnya dan jatuh ke air lalu hanyut ke muara sungai dan sampai ditengah laut. Ketika benda ini berada di tengah laut kelihatan berkilau-kilauan terkena cahaya matahari. Benda itu dilihat oleh Bendurana lalu ia menyuruh anak buahnya pergi mengambilnya. Orang yang disuruh pergi mengambil benda itu tidak ada satu pun yang berhasil karena selalu kembali dalam keadaan cacat. Orang pertama pergi mengambilnya kembali dalam keadaan lumpuh, orang kedua hilang kakinya sebelah, orang ketiga kembali dalam keadaan bungkuk, orang yang keempat hilang telinganya, dan yang terakhir kembali dalam keadaan buta. Ketika Bendurana menyaksikan keadaan ini, ia sendiri yang langsung pergi mengambil benda itu di tengah laut,  ia berhasil mengambilnya. Kaki dan kukunya pun tak basah kena air. Benda itu ternyata sisir emas yang dibebat dengan rambut yang sangat panjang. Bendurana melilitkan rambut itu ditangannya dan setelah sampai pada lilitan yang ketujuh sudah mencapai tujuh puluh depa, seratus jengkal panjangnya. Bendurana sangat heran melihat kejadian itu dan berkatalah ia dalam hatinya. “Dari mana gerangan asalnya rambut ini.” Ia memikirkan kejadian ini sambil menengadah ke langit. Tiba-tiba datanglah serombongan burung terbang di udara dan seekor di antaranya berkata.
            Saya melihat dengan pasti
            Di sana di hulu sungai
            Sumber asalnya air
            Gumpalan timbunan busa air
            Setelah burung layang-layang itu berkata demikian, kawanan burung itu terbang terus mengikuti aliran sungai mulai dari mulai dari muara sampai ke Tana Toraja dan tiba di daerah Malangngo’,  Kecamatan Rantepao. Ke mana arah burung layang-layang itu terbang selalu diikuti pula oleh perahu Bendurana. Ketika tiba di daerah Malangngo’,  Bendurana belok di persimpangan (pertemuan sungai) arah ke sungai Bolu (Kecamatan Rantepao) karena tersesat. Burung mengetahui kejadian itu lalu ia berkata.
            Sesat, sudah sesatlah perahuku
            Salah jalan, salah arahlah dia
            Mundur, mundurlah kembali
            Benarkanlah arah dan tujuannya
            Di sana di hulu sungai
            Asal mulanya busa air
            Di atas di sumur batu
            Bendurana mendengar seruan burung layang-layang di udara itu, lalu ia mengubah arah perahunya menuju ke utara, yaitu Minanga (Kecamatan Tikala) lalu membuang sauh di dekat batu yang bernama Batu Sangkinan Lembang artinya batu tempat menambat perahu. Batu ini sampai sekarang tetap terkenal dan bersejarah.
            Bendurana turun dari perahunya dan menanam pohon mangga. Pohon mangga ini rupanya agak lain sebab cepat tumbuh dan cepat pula berbuah (dan sampai sekarang mangga ini masih ada). Ketika selesai menanam mangga itu, Bendurana meneruskan perjalanannya ke utara dan sampai di tempat yang bernama bubun batu di desa Pengala’ (Kecamatan Rindingallo). Di tempat itu Bendurana langsung bertemu dengan Landorundun. Landorundun bertanya kepada Bendurana dalam bentuk londe (pantun) katanya.
            Apa tujuan, apa maksudmu?
            Apa yang engkau cari hingga ke sini
            Berjalan jauh tak memperhitungkan lelah
            Adakah engkau member piutang
            Dan engkau datang menagihnya
            Di negeri yang terpencil ini
Bendurana menjawab Landorundun dalam bentuk pantun.
            Saya tidak berpiutang
            Menagih utang yang lama pun tidak
            Aku datang hanya melihat sesuatu
            Penggulung rambut dari emas
            Di negeri yang punya arti bagiku
            Aku akan mendampingi engkau
Landorundun menjawab Bendurana.
            Tiada artinya engkau mendekat
            Ibu belum sempat mengizinkan
            Bersama seluruh keluarga
            Berpisah pergi ke Bone
            Setelah mendengar jawaban Landorundun itu, Bendurana kecewa lalu pergi menanam pohon mangga dekat tempat Landorundun turun ke sungai mencuci rambutnya. Pohon mangga ini rupanya lain dari pohon mangga biasa sebab cepat sekali tumbuh dan berbuah. Ketika buah mangga itu sudah mulai masak, pergilah Bendurana ke puncak Gunung, bersembunyi dan mengintip dari atas. Secara kebetulan pada waktu itu, Landorundun turun ke sungai akan mencuci rambutnya. Setelah itu, ia naik ke darat berjemur sambil menyisir rambutnya. Pada saat itu dia melihat mangga yang sudah masak tidak jauh dari tempat itu. Landorundun pergi menjolok sebuah mangga, kemudian memakannya sambil berjemur diri dan bersisir. Bendurana melihat peristiwa yang sudah lama dinantikan dari puncak gunung. Ia segera turun dari puncak gunung lalu pura-pura menghitung buah mangga itu. Setelah itu, ia menyindir Landorundun, katanya, “Siapakah mengambil buah kesayanganku, menjolok, dan memakan mangga manisku.”
            Landorundun merasa tersinggung mendengar sindiran Bendurana lalu ia berkata.
            Siapa yang mengambil buahmu
            Siapa yang memakan manggamu
            Beri tahu si anak gembala
            Bersama penjaga anak kerbau
            Dialah yang memanjat manggamu
            Memakan buah kesayanganmu
            Bersama semua tanam-tanamanmu
            Setelah Bendurana mendengar jawaban Landorundun, ia memanggil semua anak gembala yang ada di sekitar tempat itu dan menanyai satu per satu. Anak- anak gembala itu menjawab, “Kami tidak pernah mengambil apalagi memakan mangga Bendurana.” Ada seorang di antara mereka itu berkata.
            Landorundun mengambilnya
            Memakan buah mangga itu
            Bersama tanam-tanaman
            Mendengar kata-kata anak gembala itu, Landorundun lalu mengaku dan berkata, “Akulah yang sebenarnya mengambil buah manggamu dan terserah kepadamu hukuman apa yang harus kujalani.” Pada saat itu Bendurana memutuskan untuk menikah dengan Landorundun dan keputusan ini diterima oleh Landorundun.
            Ketika Bendurana bersiap untuk berangkat membawa Landorundun, ia mencari akal supaya mertuanya (Lambe’ Susu) tidak ikut berangkat bersama mereka. Ia menyuruh mertuanya pergi mengambil air di tebing gunung dan memberikan perian yang sudah dilubangi pantatnya untuk tempat air. Karena pantat perian itu bocor, air yang dimasukkan tidak kunjung penuh. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Bendurana membawa Landorundun turun ke perahu lalu berangkat. Ketika  Lambe’ Susu merasa bahwa perahu Bendurana sudah berangkat, ia pergi ke satu tempat yang bernama Mata Bongi untuk melihat keberangkatan anaknya. Akan tetapi, dari tempat itu Lambe’ Susu tidak dapat melihatnya karena suasana gelap menutupi daerah sekelilingnya. Tempat Lambe’ Susu memandang keberangkatan anaknya itu sampai saat ini masih ada bekasya berupa tempat duduk dari batu.
            Bendurana dan Landorundun meneruskan perjalanannya menuju Bone. Ketika mereka sudah tiba di Bone dilangsungkanlah upacara pernikahan dengan menampilkan semua jenis pesta adat. Selama pesta berlangsung, Landorundun tidak pernah tertawa bahkan tersenyum pun tidak. Pada suatu ketika orang sengaja membawa burung gagak yang sudah terpotong kakinya sebelah ke halaman rumah. Burung gagak itu melompat terpincang-pincang dan kelihatan lucu. Pada saat itulah Landorundun tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan burung gagak itu dan hiduplah Bendurana bersama Landorundun dalam suasana bahagia, rukun, dan damai.
            Demikian akhir cerita ini.


            Keterangan      :
            Cerita “Landorundun” merupakan cerita rakyat yang berasal di daerah saya tepatnya di daerah Tana Toraja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar