Kamis, 07 Juni 2012

MUTIARA HATIKU


                Suara angin bertiup lembut seakan perlahan berbisik ditelingaku. Hamparan padang rumput yang luas mengantar pikiran khayalanku terbang jauh entah kemana. Sebab itulah disaat aku duduk berteman sepi di atas puncak bukit ini, aku tak tahu entah mengapa bayangan masa kecilku yang begitu suram, sejenak dapat terhapus dalam pikiranku. Seandainya ada seseorang yang dapat mengerti kesunyian hatiku saat ini. Tapi ku sadar mimpi ini takkan pernah menjadi sebuah kenyataan, yang kubuat hanyalah berharap dan terus berharap suatu saat nanti aku dapat menemukan kembali sahabat kecilku yang telah lama tidak ada kabarnya.
            Senja ini, disaat khayalanku telah terbang entah kemana, seolah-olah awan kelabu hadir membangunkan aku. Sejenak ku tersenyum, mengasihi diriku sendiri, meratapi kerinduan hati yang tak berujung ini. Akhirnya kucoba untuk berdiri, menguatkan segala harapanku lalu menarik nafas yang dalam sekali lagi. “Steve! saatnya kita kembali ke rumah,” kataku padanya.
            Akhirnya aku mulai sendiri lagi. Seperti biasa, Steve, satu-satunya teman yang aku punya harus ikut ayahnya ke luar kota. Semenjak aku hidup di desa, hidupku selalu sepi sampai akhirnya aku bertemu dengan Steve. Hari-hari yang kulalui bersamanya membuat aku dapat mengenal apa itu persahabatan. Sudah delapan tahun aku bersamanya dan ia sudah kuanggap sebagai saudaraku sendiri. Meskipun dia seorang yang kaya raya tapi dia tetap mau menerima aku sebagai sahabatnya yang hanya seorang anak desa dan tidak jelas asal-usulnya. Aku sangat membenci Tuhan yang telah memisahkan aku dengan Willy. Dia adalah sahabat kecilku. Tetapi semenjak kedatangan Steve, aku mulai sadar bahwa Tuhan member seorang yang baru dan sangat berarti dalam hidupku. Perasaan dendam, benci, dan marah yang menghiasi masa kecilku perlahan berubah menjadi senyum dan tawa. Dan itu semua berkat dia.
            Lima hari telah berlalu, semenjak kepergiannya. Selama itu pula aku menghabiskan hari-hariku duduk di atas sebuah batu di depan hamparan padi yang luas. Karena hanya di tempat itulah kesepianku dapat terobati.
            Sore itu, tampaknya akan turun hujan deras. Angin mulai bertiup sangat kencang. Dari kejauhan dentuman Guntur mulai terasa. Setetes air hujan yang jatuh di keningku seakan menyuruh aku untuk segera pulang. Ketika aku berada di tengah perjalanan, hujan tiba-tiba mengguyur dengan derasnya. Ketika aku melewati sebuah penurunan hendak menyeberangi jembatan, tiba-tiba aku melihat sesosok tubuh terkapar tak berdaya di bawah derasnya air hujan. Refleks, aku segera menolongnya. Ternyata ia seorang gadis. Ia tidak sadarkan diri, kepalanya bersimbah darah dan sekujur tubuhnya dipenuhi dengan luka. Di sampingnya tergeletak sebuah tas kecil. Tampaknya ia terjatuh dari jalan raya yang berada di atas sana. Aku mulai gemetar karena panik, aku bingung harus berbuat apa. Dalam keadaan yang serba tak menentu itu, akhirnya aku memutuskan untuk membawanya ke rumah.
            Tiba-tiba saja aku teringat akan kejadian kemarin. Serentak aku berdiri dari kursi tempat aku terlelap. Ternyata semalam-malaman aku menunggui gadis itu hingga tak sadar, aku terlelap di depannya. Ketika kubuka mataku, kulihat gadis itu masih terbaring lemah di atas tempat tidur.
            “Tampaknya ia belum sadar juga.” Kata bibi padaku.
            Rasa panik itu mulai menyelimuti lagi.
“Pamanmu sudah menunggu di luar. Cepatlah bersiap! Biar bibi yang menjaga gadis ini.”
Sejenak aku diam. Akhirnya aku putuskan untuk pergi.
“Bagaimana keadaannya?” Tanya paman padaku ketika kami hendak berangkat.
“Tidak jauh berbeda dari hari kemarin tapi syukurlah demamnya sudah turun. Kataku dengan nada yang lemah.
“Lebih baik kamu jangan terlalu peduli padanya, suatu saat jika ia sudah sadar lalu kembali ke rumahnya, paman takut  itu akan membuatmu sedih dan kecewa!” kata paman padaku.
            Kuhanya diam mendengar kata-kata paman tersebut sebab aku mengerti apa yang ayah maksudkan. Kami pun ke kota dengan menggunakan bus kecil.
            Di kota, entah mengapa aku hanya memikirkan gadis itu. Tapi di lain pihak perkataan ayah tadi selalu membayangiku. Tuhan apa yang harus kulakukan. Apa ini tandanya kalau aku mulai suka padanya. Aku selalu bersikap tak peduli di hadapan paman padahal dalam hati ini begitu merindukannya.
            Sore telah tiba dan waktunya kami pulang. Betapa gembiranya aku ketika kudapati bibi sedang berusaha menyuapinya dengan bubur.
            “Akhirnya kau sadar juga?” kataku pada gadis itu dengan penuh kebahagiaan.
            “Hai…kenalin nama aku Firgia.” Katanya padaku.
            Tanpa mengulurkan tangan aku bermaksud memperkenalkan diri. Tapi sejenak ia hanya memandangi aku. Sepertinya ia kebingungan. “Hallo, kenalin nama….” Percuma saja, ia sudah tidak ingat siapa dirinya lagi. Tiba-tiba saja ibu memotong pembicaraanku,
“Benturan di kepala yang dialaminya, telah membuatnya lupa ingatan. Kata bibi padaku.
“Apa….?! Oh Tuhan…” kataku terkejut seolah-olah tidak percaya.
“Sungguh malang benar nasibnya. Tenanglah! Mungkin ini hanya untuk sementara waktu saja. Saat kesehatannya telah membaik, pasti ingatannya secara perlahan akan kembali,” kata bibi hendak menghiburku.
Tapi aku tak menjawab apa-apa.
            Seiring dengan perjalanan waktu, kesehatannya pun mulai pulih kembali, tetapi tidak demikian dengan ingatannya. Selama itu pula aku terus berada disampingnya. Ternyata orangnya sangat lucu, baik, dan periang. Ia selalu membuat aku tersenyum. Aku sering mengajaknya bermain ke bukit dengan berharap udara yang segar dan pemandangan yang indah dapat menyegarkan ingatannnya. Meskipun sejujurnya aku takut ingatannya kembali dan aku kehilangan orang yang aku cintai untuk kedua kalinya. Ketika aku duduk mengawasinya bermain tiba-tiba aku mendengar seseorang berteriak memanggilku, “Willy…hoy…apa kabar?”. “Aku kenal suara ini, suara Steve, benar ini suara Steve!” kataku dalam hati. Serentak aku berdiri dan menoleh ke belakang. Kulihat Steve sedang berlari menuju ke arahku. Betapa gembiranya aku. Sahabat yang telah lama kutunggu akhirnya kembali juga. Ku berlari, ku rangkul ia dengan kuat.
            “Hei…apa kabar? Apa kamu sudah tidak ingat aku,haha!”, kataku.
“Bukan begitu. Di sana aku selalu ingat kamu,kok! Sebenarnya aku ingin segera pulang tapi aku harus nungguin ayah nyelesein pekerjaannya.” Jawabnya sambil memegang bahuku.
“Ohh…syukurlah”, jawabku padanya.
“Hey…pacar baru, ya?” tanyanya sambil melihat ke arah Firgia, nama yang aku berikan kepada gadis itu. Akhirnya aku mulai menceritakannya pada Steve semua yang terjadi selama ia pergi.
            Hari-hari yang kami lalui bertiga terasa begitu indah. Dan kini kusadari perasaan sayangku pada Firgia sudah menjadi nyata. Tapi aku belum mempunyai keberanian untuk mengungkapkan perasaaan ini kepadanya. Hingga suatu hari Steve curhat sama aku.
            “Willy…aku sudah jatuh cinta pada Firgia”, jawabnya dengan gembira.
            Betapa terkejutnya aku ketika kudengar dari mulut sahabat yang satu-satunya aku punya. Aku tak tahu harus berekspresi bagaimana. Di satu sisi aku sangat menyayangi Firgia, tapi di sisi lain hati kecilku hancur karena kau membuatku kecewa.
            Tak lama setelah itu Steve dan Firgia jadian. Seiring dengan itu juga ingatan Firgia perlahan kembali tapi masih begitu samar. Aku selalu selalu tersenyum melihat Firgia yang selalu tertawa bersama dengan Steve. Karena selalu bersama, kusadar waktu untukku sudah tak ada lagi, tapi demi persahabatan dan kebahagiaan kurelakan semuanya itu. Suatu sore, tiba-tiba saja Firgia mengajak aku ke bukit.
            “Bukan…namaku bukan Firgia tapi Ayu”. Sebenarnya aku sudah ingat dua hari yang lalu tapi maaf aku baru mengatakannya sekarang.
            “Oh ya! Syukurlah kalau begitu! Jadi kamu sudah bisa bercerita siapa kamu sebenarnya!” kataku kegirangan.
“Aku adalah anak angkat sebuah keluarga kaya di kota ini. Meski kedua orang tuaku menyayangiku tetapi aku selalu dikurung di rumah sendiri, sedangkan kedua orang tuaku jarang di rumah karena sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Aku sudah tak tahan lagi lalu lari dari rumah. Aku ingin mencari kebebasan seperti orang lain. Tapi di perjalanan, di tengah derasnya hujan, waktu itu kepalaku pusing lalu terpeleset ke jurang”, kata Ayu sambil memandang langit jauh ke arah sana.
“Sungguh bodoh kamu! Kamu selalu hidup dalam kemewahan tapi kamu justru meninggalkan semua itu? Beginilah akibatnya. Kau tak mengerti, orang tuamu pasti sangat sedih dan terus mencarimu! Kau tak mengerti betapa sedihnya hati ketika orang yang kita sayangi tiba-tiba menghilang dari sisi kita.” Tiba-tiba aku tak dapat lagi menahan air mata. Ayu hanya menatapku heran mengapa aku begitu terpukul dan sedih.
“Emangnya kamu pernah alami sendiri, ya?” katanya menatap aku.
“Dulu saat usiaku enam tahun aku hidup dalam keluarga yang tak harmonis, dengan seorang adik perempuan yang sangat aku sayangi. Ayah kami adalah seorang pemabuk dan penjudi. Kami selalu menjauh saat ayah dan ibu sedang bertengkar. Dan akhirnya ibu sakit keras dan ia pun meninggalkan kami untuk selamanya. Tak kusangka ayah tega membuang kami bersama adikku, Gheby yang saat itu baru berumur empat tahun. Akhirnya ada sebuah keluarga kaya di luar kota yang menerima kami. Tapi demi masa depan yang baik akhirnya aku menitipkan Gheby dan aku harus kembali ke desa untuk membantu paman dan bibi. Perpisahan yang sangatlah menyakitkan bagiku. sampai sekarang, perpisahan tersebut selalu membayangiku.” Ceritaku dengan perlahan.
“Maaf, Ayu tak menyangka kalau masa kecil kakak seperti itu!” katanya dengan tatapan mata yang berkaca-kaca. Sebelum hidup dalam keluarga kaya, ingatanku juga mengatakan kalau dulu aku punya seorang kakak. Tapi kata ayah ia berada jauh dan tak tahu dimana ia berada. Ayah selalu melarangku menanyakan itu lagi. Kalau begitu nasib kita sama…” sambungnya.
            Akhirnya hari esok telah tiba. Aku serasa sudah tak dapat menahan kepedihan ini, tapi kurasa itulah yang terbaik untuk Ayu. Perpisahan ini adalah perpisahan yang kedua yang ku alami dengan seorang yang sangat aku sayangi.
            Tiba-tiba saja ia berdiri di depanku dan tanpa aku sadari ia memelukku dengan eratnya. Air matanya pun tak kuasa ia tahan. Perlahan kuhapus air matanya sambil berkata, “Ayu…jangan nangis donk nanti kakak ikut sedih.” Tapi sia-sia saja tanpa sadar air mataku juga menetes satu-persatu. Dia hanya menangis tersedu-sedu dan akhirnya perlahan tanganku memeluknya dengan penuh kebahagiaan.
            Tanpa sadar, aku teringat dengan adikku dulu. Bahunya pernah teriris pisau tajam sehingga ia membutuhkan waktu yang agak lama untuk disembuhkan. Ya…aku sadar!!! Kayaknya Ayu adalah Gheby, adikku.
            Aku pun menceritakannya semua kepada Ayu. Tiba-tiba bibi datang memegang bahunya Ayu, dan akhirnya bibi yakin dan percaya bahwa Ayu adalah Gheby, adikmu.
            Air mata berlinang-linang. Aku sungguh sangatlah senang dan bahagia. Akhirnya orang yang selama ini aku rindukan kini kembali ada di depanku. Terima kasih Tuhan. Mutiara hatiku yang telah hilang kini telah kembali.
THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar