Suara angin bertiup lembut seakan perlahan berbisik ditelingaku.
Hamparan padang rumput yang luas mengantar pikiran khayalanku terbang jauh
entah kemana. Sebab itulah disaat aku duduk berteman sepi di atas puncak bukit
ini, aku tak tahu entah mengapa bayangan masa kecilku yang begitu suram,
sejenak dapat terhapus dalam pikiranku. Seandainya ada seseorang yang dapat
mengerti kesunyian hatiku saat ini. Tapi ku sadar mimpi ini takkan pernah
menjadi sebuah kenyataan, yang kubuat hanyalah berharap dan terus berharap
suatu saat nanti aku dapat menemukan kembali sahabat kecilku yang telah lama
tidak ada kabarnya.
Senja ini, disaat
khayalanku telah terbang entah kemana, seolah-olah awan kelabu hadir
membangunkan aku. Sejenak ku tersenyum, mengasihi diriku sendiri, meratapi
kerinduan hati yang tak berujung ini. Akhirnya kucoba untuk berdiri, menguatkan
segala harapanku lalu menarik nafas yang dalam sekali lagi. “Steve! saatnya
kita kembali ke rumah,” kataku padanya.
Akhirnya aku mulai
sendiri lagi. Seperti biasa, Steve, satu-satunya teman yang aku punya harus
ikut ayahnya ke luar kota. Semenjak aku hidup di desa, hidupku selalu sepi
sampai akhirnya aku bertemu dengan Steve. Hari-hari yang kulalui bersamanya
membuat aku dapat mengenal apa itu persahabatan. Sudah delapan tahun aku
bersamanya dan ia sudah kuanggap sebagai saudaraku sendiri. Meskipun dia
seorang yang kaya raya tapi dia tetap mau menerima aku sebagai sahabatnya yang
hanya seorang anak desa dan tidak jelas asal-usulnya. Aku sangat membenci Tuhan
yang telah memisahkan aku dengan Willy. Dia adalah sahabat kecilku. Tetapi
semenjak kedatangan Steve, aku mulai sadar bahwa Tuhan member seorang yang baru
dan sangat berarti dalam hidupku. Perasaan dendam, benci, dan marah yang
menghiasi masa kecilku perlahan berubah menjadi senyum dan tawa. Dan itu semua
berkat dia.
Lima hari telah
berlalu, semenjak kepergiannya. Selama itu pula aku menghabiskan hari-hariku
duduk di atas sebuah batu di depan hamparan padi yang luas. Karena hanya di
tempat itulah kesepianku dapat terobati.
Sore itu, tampaknya
akan turun hujan deras. Angin mulai bertiup sangat kencang. Dari kejauhan
dentuman Guntur mulai terasa. Setetes air hujan yang jatuh di keningku seakan
menyuruh aku untuk segera pulang. Ketika aku berada di tengah perjalanan, hujan
tiba-tiba mengguyur dengan derasnya. Ketika aku melewati sebuah penurunan
hendak menyeberangi jembatan, tiba-tiba aku melihat sesosok tubuh terkapar tak
berdaya di bawah derasnya air hujan. Refleks, aku segera menolongnya. Ternyata
ia seorang gadis. Ia tidak sadarkan diri, kepalanya bersimbah darah dan sekujur
tubuhnya dipenuhi dengan luka. Di sampingnya tergeletak sebuah tas kecil.
Tampaknya ia terjatuh dari jalan raya yang berada di atas sana. Aku mulai
gemetar karena panik, aku bingung harus berbuat apa. Dalam keadaan yang serba
tak menentu itu, akhirnya aku memutuskan untuk membawanya ke rumah.
Tiba-tiba saja aku
teringat akan kejadian kemarin. Serentak aku berdiri dari kursi tempat aku
terlelap. Ternyata semalam-malaman aku menunggui gadis itu hingga tak sadar,
aku terlelap di depannya. Ketika kubuka mataku, kulihat gadis itu masih
terbaring lemah di atas tempat tidur.
“Tampaknya ia belum
sadar juga.” Kata bibi padaku.
Rasa panik itu mulai
menyelimuti lagi.
“Pamanmu sudah menunggu di luar. Cepatlah bersiap! Biar bibi yang
menjaga gadis ini.”
Sejenak aku diam. Akhirnya aku putuskan untuk pergi.
“Bagaimana keadaannya?” Tanya paman padaku ketika kami hendak berangkat.
“Tidak jauh berbeda dari hari kemarin tapi syukurlah demamnya sudah
turun. Kataku dengan nada yang lemah.
“Lebih baik kamu jangan terlalu peduli padanya, suatu saat jika ia sudah
sadar lalu kembali ke rumahnya, paman takut
itu akan membuatmu sedih dan kecewa!” kata paman padaku.
Kuhanya diam mendengar
kata-kata paman tersebut sebab aku mengerti apa yang ayah maksudkan. Kami pun
ke kota dengan menggunakan bus kecil.
Di kota, entah mengapa
aku hanya memikirkan gadis itu. Tapi di lain pihak perkataan ayah tadi selalu
membayangiku. Tuhan apa yang harus kulakukan. Apa ini tandanya kalau aku mulai
suka padanya. Aku selalu bersikap tak peduli di hadapan paman padahal dalam
hati ini begitu merindukannya.
Sore telah tiba dan
waktunya kami pulang. Betapa gembiranya aku ketika kudapati bibi sedang
berusaha menyuapinya dengan bubur.
“Akhirnya kau sadar
juga?” kataku pada gadis itu dengan penuh kebahagiaan.
“Hai…kenalin nama aku
Firgia.” Katanya padaku.
Tanpa mengulurkan
tangan aku bermaksud memperkenalkan diri. Tapi sejenak ia hanya memandangi aku.
Sepertinya ia kebingungan. “Hallo, kenalin nama….” Percuma saja, ia sudah tidak
ingat siapa dirinya lagi. Tiba-tiba saja ibu memotong pembicaraanku,
“Benturan di kepala yang dialaminya, telah membuatnya lupa ingatan. Kata
bibi padaku.
“Apa….?! Oh Tuhan…” kataku terkejut seolah-olah tidak percaya.
“Sungguh malang benar nasibnya. Tenanglah! Mungkin ini hanya untuk
sementara waktu saja. Saat kesehatannya telah membaik, pasti ingatannya secara perlahan
akan kembali,” kata bibi hendak menghiburku.
Tapi aku tak menjawab apa-apa.
Seiring dengan
perjalanan waktu, kesehatannya pun mulai pulih kembali, tetapi tidak demikian
dengan ingatannya. Selama itu pula aku terus berada disampingnya. Ternyata
orangnya sangat lucu, baik, dan periang. Ia selalu membuat aku tersenyum. Aku
sering mengajaknya bermain ke bukit dengan berharap udara yang segar dan
pemandangan yang indah dapat menyegarkan ingatannnya. Meskipun sejujurnya aku
takut ingatannya kembali dan aku kehilangan orang yang aku cintai untuk kedua
kalinya. Ketika aku duduk mengawasinya bermain tiba-tiba aku mendengar
seseorang berteriak memanggilku, “Willy…hoy…apa kabar?”. “Aku kenal suara ini,
suara Steve, benar ini suara Steve!” kataku dalam hati. Serentak aku berdiri
dan menoleh ke belakang. Kulihat Steve sedang berlari menuju ke arahku. Betapa
gembiranya aku. Sahabat yang telah lama kutunggu akhirnya kembali juga. Ku
berlari, ku rangkul ia dengan kuat.
“Hei…apa kabar? Apa
kamu sudah tidak ingat aku,haha!”, kataku.
“Bukan begitu. Di sana aku selalu ingat kamu,kok! Sebenarnya aku ingin
segera pulang tapi aku harus nungguin ayah nyelesein pekerjaannya.” Jawabnya
sambil memegang bahuku.
“Ohh…syukurlah”, jawabku padanya.
“Hey…pacar baru, ya?” tanyanya sambil melihat ke arah Firgia, nama yang
aku berikan kepada gadis itu. Akhirnya aku mulai menceritakannya pada Steve
semua yang terjadi selama ia pergi.
Hari-hari yang kami
lalui bertiga terasa begitu indah. Dan kini kusadari perasaan sayangku pada
Firgia sudah menjadi nyata. Tapi aku belum mempunyai keberanian untuk
mengungkapkan perasaaan ini kepadanya. Hingga suatu hari Steve curhat sama aku.
“Willy…aku sudah jatuh
cinta pada Firgia”, jawabnya dengan gembira.
Betapa terkejutnya aku
ketika kudengar dari mulut sahabat yang satu-satunya aku punya. Aku tak tahu
harus berekspresi bagaimana. Di satu sisi aku sangat menyayangi Firgia, tapi di
sisi lain hati kecilku hancur karena kau membuatku kecewa.
Tak lama setelah itu
Steve dan Firgia jadian. Seiring dengan itu juga ingatan Firgia perlahan
kembali tapi masih begitu samar. Aku selalu selalu tersenyum melihat Firgia
yang selalu tertawa bersama dengan Steve. Karena selalu bersama, kusadar waktu
untukku sudah tak ada lagi, tapi demi persahabatan dan kebahagiaan kurelakan
semuanya itu. Suatu sore, tiba-tiba saja Firgia mengajak aku ke bukit.
“Bukan…namaku bukan
Firgia tapi Ayu”. Sebenarnya aku sudah ingat dua hari yang lalu tapi maaf aku
baru mengatakannya sekarang.
“Oh ya! Syukurlah kalau
begitu! Jadi kamu sudah bisa bercerita siapa kamu sebenarnya!” kataku
kegirangan.
“Aku adalah anak angkat sebuah keluarga kaya di kota ini. Meski kedua
orang tuaku menyayangiku tetapi aku selalu dikurung di rumah sendiri, sedangkan
kedua orang tuaku jarang di rumah karena sibuk dengan pekerjaan mereka
masing-masing. Aku sudah tak tahan lagi lalu lari dari rumah. Aku ingin mencari
kebebasan seperti orang lain. Tapi di perjalanan, di tengah derasnya hujan,
waktu itu kepalaku pusing lalu terpeleset ke jurang”, kata Ayu sambil memandang
langit jauh ke arah sana.
“Sungguh bodoh kamu! Kamu selalu hidup dalam kemewahan tapi kamu justru
meninggalkan semua itu? Beginilah akibatnya. Kau tak mengerti, orang tuamu
pasti sangat sedih dan terus mencarimu! Kau tak mengerti betapa sedihnya hati
ketika orang yang kita sayangi tiba-tiba menghilang dari sisi kita.” Tiba-tiba
aku tak dapat lagi menahan air mata. Ayu hanya menatapku heran mengapa aku
begitu terpukul dan sedih.
“Emangnya kamu pernah alami sendiri, ya?” katanya menatap aku.
“Dulu saat usiaku enam tahun aku hidup dalam keluarga yang tak harmonis,
dengan seorang adik perempuan yang sangat aku sayangi. Ayah kami adalah seorang
pemabuk dan penjudi. Kami selalu menjauh saat ayah dan ibu sedang bertengkar.
Dan akhirnya ibu sakit keras dan ia pun meninggalkan kami untuk selamanya. Tak
kusangka ayah tega membuang kami bersama adikku, Gheby yang saat itu baru
berumur empat tahun. Akhirnya ada sebuah keluarga kaya di luar kota yang
menerima kami. Tapi demi masa depan yang baik akhirnya aku menitipkan Gheby dan
aku harus kembali ke desa untuk membantu paman dan bibi. Perpisahan yang
sangatlah menyakitkan bagiku. sampai sekarang, perpisahan tersebut selalu
membayangiku.” Ceritaku dengan perlahan.
“Maaf, Ayu tak menyangka kalau masa kecil kakak seperti itu!” katanya
dengan tatapan mata yang berkaca-kaca. Sebelum hidup dalam keluarga kaya,
ingatanku juga mengatakan kalau dulu aku punya seorang kakak. Tapi kata ayah ia
berada jauh dan tak tahu dimana ia berada. Ayah selalu melarangku menanyakan
itu lagi. Kalau begitu nasib kita sama…” sambungnya.
Akhirnya hari esok
telah tiba. Aku serasa sudah tak dapat menahan kepedihan ini, tapi kurasa
itulah yang terbaik untuk Ayu. Perpisahan ini adalah perpisahan yang kedua yang
ku alami dengan seorang yang sangat aku sayangi.
Tiba-tiba saja ia
berdiri di depanku dan tanpa aku sadari ia memelukku dengan eratnya. Air
matanya pun tak kuasa ia tahan. Perlahan kuhapus air matanya sambil berkata,
“Ayu…jangan nangis donk nanti kakak ikut sedih.” Tapi sia-sia saja tanpa sadar
air mataku juga menetes satu-persatu. Dia hanya menangis tersedu-sedu dan akhirnya
perlahan tanganku memeluknya dengan penuh kebahagiaan.
Tanpa sadar, aku
teringat dengan adikku dulu. Bahunya pernah teriris pisau tajam sehingga ia
membutuhkan waktu yang agak lama untuk disembuhkan. Ya…aku sadar!!! Kayaknya
Ayu adalah Gheby, adikku.
Aku pun menceritakannya
semua kepada Ayu. Tiba-tiba bibi datang memegang bahunya Ayu, dan akhirnya bibi
yakin dan percaya bahwa Ayu adalah Gheby, adikmu.
Air mata
berlinang-linang. Aku sungguh sangatlah senang dan bahagia. Akhirnya orang yang
selama ini aku rindukan kini kembali ada di depanku. Terima kasih Tuhan.
Mutiara hatiku yang telah hilang kini telah kembali.
THE END