Rabu, 18 Januari 2012

PENGORBANAN MEMBUAHKAN KEBERHASILAN


                                    PENGORBANAN MEMBUAHKAN KEBERHASILAN
Kicauan burung- burung nan merdu
Mengantarku ke alam nan syahdu…
Melihat indahnya panorama hidup ini
Tuk ku jalani hingga hayat hidupku…

            Hari yang cerah tuk memulai aktivitas yang baru. Aku terbangun oleh kicauan burung- burung yang bersanggar di belakang pohon rumahku. “Terima kasih Tuhan”, kataku dengan penuh gembira. Aku senang karena hari ini merupakan hari special bagiku dan tak pernah akan kulupakan selama- lamanya. Ya, hari pertama sekolah merupakan sesuatu yang menyenangkan bagiku tersendiri dan ini suatu awal untuk menuju masa depan yang cemerlang. Walaupun aku sadar, aku tak seperti teman- teman lainnya yang berkelimpahan harta.
            Seminggu yang lalu, aku dirundung duka yang sangat dalam. Aku kehilangan seorang ayah karena mengalami musibah kecelakaan saat menjual jajanan kue di terminal. Namun berkat ibu, saya bisa bangkit kembali dari keterpurukan dan menjalani hidup yang masih panjang. Biarlah…mungkin Tuhan mempunyai rencana tersendiri bagiku. Aku tidak pernah lagi merasakan kasih sayang dari seorang ayah.
            Dion,,,makan Nak, kata mama padaku. Iya ma, kataku. Aku bergegas keluar kamar dan makan. Walaupun sarapan paginya hanya nasi dan sayur, tapi saya tetap bersyukur. Nak, mama tidak bisa mengantarmu ke sekolah karena mama lagi sakit. Iya ma, jadi saya sama siapa ke sekolah? Hmm,,,nanti kamu ditemani Tian, anaknya Pak Rinto. Ok ma, kataku lembut.
 Baju Dion sudah mama siapkan di ruang tamu, tadi masih basah jadi saya setrika, kata mama sambil memeluk saya.
Aku pun selesai makan dan bergegas mandi. Sebenarnya aku sangat ingin seperti teman- teman lainnya, bisa mengenakan seragam sekolah yang baru, tas baru, sepatu baru, dan alat tulis menulis, namun semua itu hanyalah mimpi bagiku. Aku tetap bersyukur masih ada seragam sekolah yang sudah lama disimpan di lemari. Itu adalah seragam kakak saya yang dikenakan sewaktu sekolah. Namun ia meninggal sewaktu berenang bersama teman- temannya di sungai.
Ma,,,Dion pergi dulu, kataku dengan penuh kegembiraan. Hati- hati Nak, kata mama padaku. Aku pun pergi sekolah tapi sebelum itu saya singgah ke rumah tian.
Tian,,,Tian,,,Tian, teriakku dari depan rumahnya. Iya,,,tunggu, katanya. Dari dalam rumah, iya ditemani oleh ayahnya dan mengenakan seragam sekolah yang terlihat amat sangat putih. Yah,,,aku senang melihatnya walaupun dalam hatiku ingin seperti dia.
Dion, mana ibumu?, kata Pak Rinto. Ohhh,,,ibuku sedang sakit, jadi nggak bisa mengantarku, kataku sambil tunduk.
Sakit apa?, katanya sambil memegang tanganku. Saya tidak tahu om, kataku lembut.
Okelah…ayo kita berangkat, nanti terlambat. Kami pun pergi ke sekolah. Jarak rumah ke sekolah kira- kira 3 km. namun itu tidak masalah bagi kami. Tak terasa, kami tiba di sekolah dan langsung masuk ke kelas.
Wah,,,aku minder melihat teman- teman semuanya mengenakan seragam sekolah yang baru. Aku malu melihat teman- teman semuanya mengarahkan perhatiannya kepada saya. Namun aku sinis saja. Aku tetap memegang motto ku “belajar demi tercapainya sebuah cita- citaku”.
Hari pertama sekolah, satu per satu  siswa/I kelas I SD disuruh untuk memperkenalkan dirinya. aku pun menunggu giliran ku untuk ke depan kelas. Tak terasa, saya pun dipanggil.
Dion, perkenalkanlah dirimu, kata ibu guru padaku. Iya bu, kata ku semangat.
Perkenalkan, nama saya Dionesius Alvianto. Umur saya tujuh tahun. Cita- cita saya ingin menjadi seorang dokter. Terima kasih.
                                                            …………………..
            Aku selalu semangat untuk bersekolah. Walaupun hujan, aku berinisiatif untuk mengambil daun pisang untuk digunakan ke sekolah. Aku menjalaninya dengan penuh suka dan duka.
            Tak terasa, waktu terus berputar hingga saya sudah kuliah. Aku tak pernah meminta uang sama ibu, tapi berkat kerja keraskulah, aku bisa menerima beasiswa. Hingga pada saat wisuda tiba, aku senang walaupun ibu tidak bisa datang. Yah…biarlah, asalkan ibu sudah senang mendengarnya, itu cukup bagiku. Ibulah yang selalu mendorong saya untuk termotivasi belajar dengan keras dan memberikan nasehat jika saya melakukan suatu kesalahan.
            “Kejarlah cita- citamu setinggi langit”, aku masih mengingat kalimat itu dari seorang guru dan terlebih ibu saya. Memang benar, asalkan ada niat untuk berusaha, pasti semuanya akan tercapai. Tak ada yang tak bisa jika kita tidak pernah putus asa.
            Aku bangga pada diriku sendiri, saya telah menjadi seorang dokter sesuai impianku sejak kecil. Hingga pada suatu hari, ibu saya meninggal karena menderita penyakit kanker. Aku sangat sedih yang sangat mendalam. Aku tak punya siapa- siapa lagi.
            Mama, “selamat jalan Ma, Dion tak akan pernah lupakan pengorbanan hingga kasih sayang padaku. Tuhan, semoga ibuku di terima di sisi-Mu. Amin.
            Aku menikah dengan salah seorang perempuan yang baik. Dia adalah Trinesia. Dia seorang dosen di salah fakultas ekonomi. Kami telah mempunyai anak dua dan mereka sudah SMP.
            Saat hari libur panjang tiba, aku mengajak keluargaku ke kampung. Saya menceritakan semua kenangan yang ku alami baik suka maupun duka. Semua itu agar anak- anakku bisa mandiri dan selalu berusaha memotivasi diri demi suatu keberhasilan.
            Itulah hidup, kadang kita harus memulai dari suatu penderitaan hingga meraih suatu kesuksesan. “Jangan pernah putus asa, kejarlah cita- cita walaupun membutuhkan pengorbanan yang sangat pahit, tapi semua itu demi suatu keberhasilan”.
                                                            The end …
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar